UNIVERSITAS KARIMUN

Alamat : Jl. Canggai Putri Tg. Balai Karimun Kab. Karimun - Kepulauan Riau.

LEMBAGA DAKWAH KAMPUS (LDK)UNIVERSITAS KARIMUN

Ukmi Darul Ilmi Universitas Karimun, Jl. Canggai Putri Tg. Balai Karimun Kab. Karimun - Kepulauan Riau.

LEMBAGA DAKWAH KAMPUS UNIVERSITAS KARIMUN

OPEN RECRUITMENT Study Intensif Darul Ilmi Kesatuan (SIDIK).

LEMBAGA DAKWAH KAMPUS UNIVERSITAS KARIMUN

Musyawarah Umum ke II Lembaga Dakwah Kampus Darul 'Ilmi Universitas Karimun.

LEMBAGA DAKWAH KAMPUS UNIVERSITAS KARIMUN

Alamat : Jl. Canggai Putri Tg. Balai Karimun Kab. Karimun - Kepulauan Riau.

Rabu, 01 Juni 2011

Gadis kecil bernama Aisha

“Berdasarkan kisah nyata… hanya namanya yang berubah. tidak ada maksud menggurui. hanya ingin mengenang. dan semoga kalian semua ingat apa yang sudah para pahlawan lakukan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.”
Jakarta, 1999
Sastro terbaring di atas ranjang berbalut seprai putih sambil bersenandung. Cucu perempuannya tampak membaringkan kepalanya di sisi kakeknya ikut menikmati nyanyiannya walaupun gadis kecil itu jelas tidak mengenal lagunya. Sekali lagi, si cucu menyodorkan sebuah Juz Amma untuk kakeknya. Sastro hanya tersenyum, tahu akan apa yang bakal dikatakan cucunya.
“Ayo kek, Aisha ajarin baca Al-Fatihah ya” pintanya polos dengan mata berharap.
“lagi? Kemarin kan sudah…” elak Sastro dengan nada bercanda, walau suaranya terdengar parau, akibat tubuhnya yang kian melemah.
“kemarin kan kakek belum selesai bacanya” protes Aisha sebal.
“kakek ngantuk Aisha, kakek kan sakit” elak Sastro lagi kemudian langsung membalikkan tubuhnya pura-pura mendengkur.
Aisha tidak melanjutkan protesnya, dia percaya kakeknya benar-benar tidur. Gadis kecil itu berjinjit untuk mencium kening kakeknya dengan sayang.
“maafin Aisha ya udah ganggu kakek, met bobo” Sastro tetap pura-pura tidur.
Sebenarnya Sastro sudah sejak lama hafal Al-Fatihah, bahkan hampir seluruh isi Al-Quran dia hapal. Bukankah dulunya dia seorang guru ngaji sebelum masuk tentara? Sastro serta merta teringat peristiwa lalu, kejadian pahit yang telah merubah hidupnya.
Aceh, 1953.
Peristiwa DI/TII, dimana sekelompok ekstrimis sedang memperjuangkan terwujudnya Indonesia sebagai negara Islam. Cuaca ketika itu mendung dengan angin berhembus kencang. Tampak para pejuang kedaulatan Indonesia sedang berpatroli di sekitar barak mereka yang sederhana.
Pakaian mereka tampak lusuh bersaput debu mesiu serta darah yang mengering. Janggut dan rambut juga dibiarkan tumbuh tanpa dicukur. Sastro ketika itu berpangkat letnan, sepuluh orang tentara muda menjadi tanggung jawabnya. Bedil senantiasa di tangan dan mata selalu awas berjaga.
“sudah enam hari” kata rekannya yang bernama Basri sambil memainkan pisau.
“kau rindu dengan istrimu?” ledek Sastro.
“ngaco kamu, aku hanya kangen merokok, mulutku sepat rasanya” elak Basri.
“di belantara begini mana ada yang menjual rokok” tanggap Sastro terkekeh.
“aku ingin mencari di rimbunan semak sana. Pasti ada pohon tembakau walaupun cuma sebatang” kata Basri menunjuk sekumpulan tanaman lebat tak tertembus cahaya.
“tapi lumayan jauh dari perkemahan kita, berbahaya kalau kamu pergi sendiri” cegah Sastro yang ditanggapi Basri dengan tawa.
“sudah berapa tahun kau jadi tentara? tahukah kau berapa kali peluru nyaris membunuhku? Bah! Takdir di tangan Allah! Sudahlah kalau kau begitu khawatir kau ikut saja denganku” sahut Basri.
Sastro memandang kawan-kawannya yang tampak berjaga. Terbesit perasaan ragu dalam dirinya. Memang bukan sekali ini dia ikut berperang. entah berapa kali dia nyaris mati dalam perjuangannya. Tapi kali ini entah mengapa hatinya terasa berat sekali untuk mengikuti Basri.
“kau mau ikut tidak?” Tanya Basri lagi. Dia akhirnya memutuskan untuk ikut. Sastro tahu Basri keras kepala, kalau sahabatnya mati, Sastro tidak akan pernah memaafkan dirinya. Siapa tahu para pemberontak itu akan membunuh Basri ketika dia sendirian.
Benar kata basri, beberapa batang pohon tembakau tampak tumbuh tegar di sana. Basri mengincar daun-daun yang sudah mengering, agar bisa langsung dilinting untuk dibakar.
“ah nikmatnya” Basri menghela kepulan asap racun keluar dari paru-parunya. Baru saja mereka berpikir untuk kembali ke barak. Tiba-tiba terdengar samar suatu letusan senjata. Pertanda markas mereka tengah diserang.
“Bedebah!” maki Basri sambil melemparkan lintingan tembakau yang susah payah dia dapatkan. Sastro gemetar karena firasatnya terbukti. Teman-temannya dalam bahaya.
Dan ketika mereka kembali ke tenda semua sudah terlambat. Sastro meraung murka karena para musuhnya berhasil kabur. Gerilyawan pemberontak itu juga meninggalkan tanda mata untuk Sastro dan tentara lain yang tersisa. Kepala-kepala tanpa tubuh, ditancapkan pada ruas-ruas bambu menghiasi tenda mereka.
“mereka datang dengan pasukan yang tiga kali lipat lebih banyak dari kita” seorang anak buahnya menyeret tubuhnya yang terluka untuk melaporkan kejadian tadi kepada atasannya.
Sastro memeluk tubuh-tubuh tak bernyawa itu dengan air mata berlinang. Sementara Basri dan prajurit lain yang tersisa mencoba menenangkannya.
“Ini perang Sastro…” Rintih Basri.
“tidak hanya kita yang kehilangan, mereka juga…” tambah yang lain walau semua itu tidak berpengaruh bagi Sastro.
Sastro mengelilingi perkemahan, menyaksikan mimpi buruk yang paling dihindarinya. Mayat-mayat bergelimpangan, kepala terpenggal, usus berhamburan.
Sastro tidak habis pikir. Mereka Islam, tapi mereka tersesat terlampau jauh. Sebagai mantan guru ngaji dia sangat mengerti aturan peperangan. kalau mereka memang memahami kitab suci mereka tidak mungkin berani menyiksa musuhnya sedemikian rupa. Mereka seharusnya tahu kalau jiwa mereka yang membunuh di peperangan karena amarah dan nafsu tidak akan diterima di surga. Sastro gelap mata. Pikirannya tertutup amarah.
“aku tidak mau Sholat lagi! Aku tidak mau disamakan seperti mereka!” Teriaknya berulang-ulang.
“Astaghfirullah Sastro..Istighfar” ujar Basri untuk menenangkannya. Tapi otak Sastro sudah lebih dulu tersaput dendam.
Jakarta, 1999.
Sastro meneteskan air mata. Dia kini sudah menjadi kakek renta yang sedang menunggu ajal. Tubuh yang dulunya tegap berisi kini tinggal tulang berbalut kulit. dia takut mati. Dosanya terlampau besar. Dia malu terhadap sang pencipta.
Salah seorang anaknya mendekati ranjang. Dialah ibu dari Aisha. Gadis kecil yang tidak pernah jera meminta kakeknya mengaji.
“pak…” putrinya memandangnya lekat-lekat, ingin memulai pembicaraan. Tampak matanya sembab seperti habis menangis.
“dokter bilang umur bapak tidak lama lagi kan?” tebak Sastro. Putrinya menggeleng lemah.
“dokter tidak bilang begitu, dia hanya bilang kalau bapak sakit parah dan sulit diobati”
“itu sama saja” tanggap Sastro sambil tersenyum pahit. Kepalanya tiba-tiba pening. Pandangan matanya mengabur seakan ada ribuan kunang-kunang mengitari dirinya. dia lalu mengenang hidupnya yang tidak pernah membosankan.
Selama sisa hidupnya sastro dikenal sebagai orang yang baik. Dia tidak pernah mabuk-mabukan. Dia tidak pernah main perempuan. Dia selalu berkurban setiap Idul Adha. Dan Entah sudah berapa Mushola di Jakarta yang terus berdiri dan kokoh berkat sumbangan darinya.
Satu yang Sastro sesali adalah dia tidak pernah Sholat. Rasa ego dan janji bodohnya di masa lalu yang menyatakan tidak mau lagi menginjak sajadah membuatnya malu terhadap Sang Pencipta. Dia takut ibadahnya tidak diterima. Kini dia bahkan hampir lupa bagaimana caranya Sholat.
“pak…” sapa putrinya yang segera membuyarkan lamunannya.
“bapak belajar Sholat ya?” lanjut putrinya. Sastro cukup terkejut, karena selama ini putrinya seakan tidak pernah mempermasalahkan keislamannya. Sastro diam saja.
“bapak sudah tahu dari dulu kan kalau mereka yang membunuh anak buah bapak secara sadis waktu perang dulu, sebenarnya adalah orang-orang yang tidak paham sama agamanya sendiri?” Sastro terbatuk, dia terkejut.
“kamu kok tahu nak?” Tanya Sastro. Putrinya hanya tersenyum menenangkan.
“beberapa tahun lalu pak Basri pernah cerita sama Lala, bapak jangan terus mendendam. Bapak jangan terpengaruh sama masa lalu. Percayai hati nurani bapak saja…” ujar Lala putrinya sabar. Sastro kembali membisu selama beberapa detik.
“Bapak malu nak…” kata sastro akhirnya. Sebelum Lala sempat menanggapi. Pintu kamar Sastro terbuka. Dan masuklah Aisha, gadis kecil yang terus meneror Sastro selama beberapa tahun ini.
“eh kakek udah bangun, sini Aisha ajarin baca Al-fatihah” Sastro merasa kehangatan tiba-tiba merayap di tubuhnya.
“boleh, tapi ajarinnya pelan-pelan ya” Sastro berharap, ketika ajalnya menjemput. Dia bisa pergi dengan perasaan bangga.

(http://dhiyary.wordpress.com)

Salman Al Farisi dari Kota “Amoy”

“Asyhadu Allah Ilahaillallah Waasyhadu Anna Muhammad Rasulullah.” Kalimat tauhid atau kalimat dua syahadat itu keluar dengan terbatah-batah dari lisan Salman Al farisi. Kalimat itu diulangnya dua kali.

“Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah adalah utusan Allah,” Gumam Salman mengartikan. Lancar.

Selesai Salat Jumat, Salman duduk bersimpuh di atas sajadah di Masjid Agung Kota Singkawang. Ia menghadap ke barat. Kiblat. Sikapnya menjadi pusat perhatian puluhan jamaah.

Pengucapan kalimat sahadat itu dipandu Effendi M. Saat selaku ustadz. Hanafi dan Agus Arifin sebagai dua saksi. Di tempat itu juga, terdapat Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Singkawang Barat, Musmuthalib.

“Selain dua saksi yang ada, bapak yang ada di masjid ini juga sebagai saksi keislaman dari saudara kita,” kata Musmuthalib.

Sebelum masuk ke agama Islam, Musmuthalib mengatakan Salman harus menandatangani dua surat pernyataan. Pertama berisikan kesediaan keluar dari agama lama. Kedua berisikan pernyataan bersedia masuk ke agama baru.

Pada Salman Mutahlib menjelaskan perbedaan dan persamaan antara agama yang lama dan agama yang baru dipeluknya. Untuk kesamaannya, semua agama tidak ada yang mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat kejahatan. Sementara perbedaannya terletak pada ibadah

“Ada salat lima waktu, puasa, dan lainnya,” kata Musmuthalib.

Bukan hanya ibadah, perbedaan antara Islam dengan agama lain terletak pada makanan. Umat Islam dilarang untuk memakan babi.

“Memelihara, menyentuh tidak diperbolehkan,”

Musmuthalib hanya menjelaskan secara garis besar. Salam kemudian diserahan pada Effendi. Sekitar lima menit dialog dilakukan. Effendi pun bertanya.

“Apakah anda betul-betul ingin masuk agama Islam?
“Apakah ada paksaan dari luar?

Salman menjawab.

“Saya sudah mempunyai tekad kuat!”
‘Tida ada yang memaksa!”

“Apakah anda bersedia mengucapkan kalimat sahadat?
“Bersedia.”

Cukup dengan dua pertanyaan. Effendi dan Salman duduk berhadapan.Effendi genggang tanan Salman. Seperti bersalaman. Ucapan sahadat yang keluar dari mulut Effendi pun ia ikutkan. Mulai hari itu, Salman resmi memeluk Islam.

Ritual lancar. Effendi menyanggulkan jubah dari Makkah nya kepundak Salam. Songkok hitam dipakaikan. Kitab suci quran pun dihadiahkan. Semua terharu. Peluk dan cium dari jamaah untuk Salman pun berlangsung.

***
Bong Jun That. Itulah nama asli Salman. Ia saya kenal di lantai atas Hotel Prapatan Kota Singkawang, sebelum salat Jumat. Ia tidak sendirian. Ia didampingi, Maksum, selaku pengurus Yayasan Chengho, Andry Lamfield dari PITI Kota Singkawang, dan Maya Satrini dari Forom Solsial. Saat saya datang mereka duduk satu meja.

Atas izin ke tiga orang itu, Salman dan Saya memilih memisah. Sekitar lima belas menit perbincangan kami lakukan.

Bhong Jun That, warga kelahiran Singkawang. Ia beretnis Tiong Hoa. Ia dibesarkan oleh keluarga Khonghocu. Dari kecil hingga berusia 46 tahun agama itu disandangnya. Kini Salman tinggal bersama mertuaya di Desa Sainam.

Salman mengatakan kenal agama Islam waktu bekerja sebagai kepala bagian di salah satu perusahaan tekstil di Semarang, tahun 1990-1992. di perusahaan itu ia banyak bergaul dengan warga Islam. Dari perkenalan itulah, terbesit dalam niatnya untuk pindah agama. Namun belum hidayah.

Diperkirakan tahun 2006, saat berada di Jakarta Bong Jun That bertemu dengan Maksum. Tentang agama Islam kembali dibicarakan. Niat Bong untuk pindah agama kembali menguat. Pertemuan Bong Jun Than dengan Maksum terus berlanjut hingga ke Singkawang. Dan dengan dorongan Maksum, Islam pun dipeluknya. Salman Al farisi, sebagai nama barupun disandangnya.

Sebelum masuk agama Islam, Salman sempat masuk dibeberapa agama. Diantaranya Budha dan Konghocu. Namun semua agama itu tidak membuat Salman tenang.

***
Salman mempunyai seorang istri dan enam orang anak. Salman mengatakan, semua orang dekatnya tersebut belum mengetahui tentang keislamannya.

“Mereka tidak akan mencegah,” kata Salman.

Walau demikian, Salman tidak yakin, keislamannya akan didukung oleh sang istri dan anak. Dengan kondisi seperti, semangat Salman tidak tergoyahkan. Ia bertekat untuk tidak meninggalkan agama Islam..

“Ini agama terakhir saya, saya tidak mungkin pindah agama.”

Bahkan Salman berdoa, mudah-mudahan istri dan anak-anak, suatu saat mengikuti jejaknya soal agama.

“Saya berharap mereka ikut jejak saya.” ujar Salman.

Begitu juga dengan para sahabat. Ada yang mengetahui dan tidak, atas niat Salman untuk masuk ke agama Islam. Diantara para sahabat yang mengetahui rencana Salman bersikap tidak percaya.

“Karena mereka tahu saya orang yang suka pindah agama.”
“Tapi yang lainnya mendukung saya.” ujar Salman.

***
Keislaman Salman disambut baik Ketua Perasutuan Iman Tauhid Indonesia (PITI) Kota Singkawang, H. Herman. Dengan mata berkaca-kaca, pria yang saya temui di masjid Agung Kota Singkawang tersebut berulang kali mengucapkan sukur.

Selanjutnya, Herman mengatakan, dibawah naungan PITI, Salman akan dibimbing untuk mengenal islam secara mendalam. Salman akan diajarkan bagaimana membaca Quran, menjalankan salat, dan berbagai ibadah lainnya.

Untuk memudahkan Salman berlajar, Herman mengatakan para pembimbing akan datang langsung ke rumahnya. Dan selanjutnya, Apabila Salman mulai paham dan mengerti, Maka Salman dipersilahkan untuk datang sendiri ke sektariat.

Dengan masuknya Salman, Herman mengatakat telah menambah jumlah warga Tiong Hoa Kota Singkawang yang masuk Islam. Berdasarkan data, jumlah keseluruhan warga Tiong Hoa Kota yang beragama Islam sekitar 400 orang

“Dan dia warga Tiong Hoa terbaru yang masuk Islam,” kata Herman.

(http://dhiyary.wordpress.com)

Kutunggu Kalian di Surga

Dua puluh lima tahun sudah usia pernikahanku. Alhamdulillah, aku telah dikaruniai empat orang anak, Firdaus (23 th), Nikmah Syahidah (20 th), Nurul Azizah (10 th), dan Akhmad Fikri (3 th). Kami merasa cukup dengan apa yang kami miliki, walaupun secara materi kehidupan keluarga kami sangatlah pas-pasan. Bahkan dengan penuh perhatian, istriku selalu membimbing dan mengingatkan anak-anakku untuk selalu bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya. Itulah yang membuat aku ikhlas untuk meninggalkan mereka demi untuk dakwah Islam. Aku tidak merasa gentar dengan semua cobaan yang menimpa mereka karena Allah-lah yang akan menjadi penolong dan pelindungnya.
“Bi, ada telpon ! “panggil Nikmah.
Panggilan Nikmah membuatku harus menghentikan pekerjaanku. Bergegas aku menuju ke telpon. Setelah kuterima telpon, aku menghampiri Nikmah yang sedang menyuapi Fikri. ” Nikmah, Ummi mana ?” tanyaku pada anak perempuanku yang selalu membantu Umminya merawat adik-adiknya.
“Di belakang Bi, sedang nyuci pakaian”, jawab Nikmah.
Benar, kudapati istriku sedang mencuci pakaian. Walaupun begitu, tak pemah kulihat istriku mengeluh ataupun marah karena kerjaan di rumah begitu banyak. Bahkan di depanku dan anak-anak selalu menampakkan wajah yang ceria, walaupun kondisi badannya sedang letih dan tidak enak badan. Ya..Allah, aku bersyukur kepada-Mu di masa yang sulit ini istriku masih tetap tabah dan sabar.
Memang, semenjak pimpinan di perusahaan tempat aku kerja mengetahui aku terlibat dengan gerakan yang ingin menerapkan hukum-hukum Allah dengan cara menegakkan Khilafah Islamiyyah–, pimpinanku langsung mem-PHK-ku. Apalagi, semenjak penguasa negeri ini bekerja sama dengan AS dan sekutu-sekutunya untuk menumpas habis para dai yang ingin memperjuangkan Islam. Semua lapangan pekerjaan menjadi tertutup. Banyak dari kalangan pejuang Islam yang kesulitan mencari nafkah untuk keluarganya. Bahkan anak-anak mereka pun tidak bisa sekolah, termasuk anak-anakku.
“Mi!” panggilku dengan lembut, seraya memegang tangannya. Sejenak aku merasakan betapa kasar tangan istriku, karena semua pekerjaan berat dia kerjakan sendiri. Berbeda pada waktu ketika kami baru menikah, kami masih sanggup mempekerjakan pembantu.
“Ummi capek?” tanyaku penuh perhatian.
“Nggak kok, Bi. Cuma kurang tidur aja, semalam Fikri nangis terus. Badannya panas.? Tapi, Alhamdulillah, sekarang Fikri sudah nggak apa-apa.” jawab istriku datar.
“Bener, Ummi nggak apa-apa?” tanyaku dengan nada tidak percaya.
“Duuh, Abi masak nggak percaya sih sama Ummi” ia meyakinkanku.
“lya deh percaya,” sahutku.
Masak sih Abi nggak percaya sama Ummi. Ummi itu kan orangnya tegar, rajin, cantik, pinter, penyayang, pengertian, keibuan lagi.” godaku.
“Ah, Abi. Ummi jadi malu nih, dipuji gitu!” wajah istriku merah merona. Walaupun dalam kondisi yang sulit ini aku berusaha menghibur hati istriku. Karena semenjak situasi negeri ini berubah, istriku lebih banyak di rumah.
ooOoo
“Fikri, ayo mulutnya dibuka! Ak … ak … emm!” bujuk Nikmah kepada Fikri seraya menyuapi.
“Hayo … tinggal dua sendok lagi. Cepet dihabiskan, nanti keburu
dimakan mbak Nurul Iho.”
“Mbak, minta dong, Fik!” goda Nurul yang dari tadi sedang asik dengan buku Sirah Nabawinya.
“Tuh… kan, mbak Nurul minta! Ayo, buka lagi mulutnya.” seru Nikmah,
“ak … ak, iya pinter. Kalau makannya banyak nanti cepet besar, biar bisa nemenin
Abi.”
Terus terang aku merasa bangga dengan anak-anakku. Semua tumbuh dan berkembang dengan norrnal. Aku tidak mau membeda-bedakan kasih sayang di antara mereka. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk mereka. Aku tidak hanya ingin anak-anakku mulia di mata manusia, namun lebih dari itu aku ingin mereka mulia di sisi Allah. Aku ingin mereka menjadi pengemban dakwah. Aku ingin mereka menjadi pejuang-pejuang Islam. Karena dengan Islamlah mereka akan mulia.
Alhamdulillah, keinginan seperti ini bukan hanya keinginanku, ternyata istriku juga bercita-cita demikian. Memang aku dan istriku berasal dari latar belakang yang sama, yaitu sama-sama aktivis dakwah. Maka wajarlah kalau keinginanku dan keinginan istriku sama. Dan aku pikir memang harus seperti itulah cita-cita kaum muslimin.
“Bi, … Abi kok bengong?” sapa istriku,
” Nih, Ummi bikinkan teh hangat. Di minum dulu Bi biar badan lebih enakan.”
Entah, setiap aku melihat wajah istriku, aku semakin sayang. Bahkan, seakan-akan semua masalah jadi hilang. Terlebih lagi, kalau aku memandang wajahnya hatiku menjadi tentram.
“Bi, Abi kok bengong lagi? Abi, mikirin apa? ” Tanya istriku dengan lembut.
“Nggak kok, Mi.” jawabku datar.
“Abi cuma mau ngomong sama Ummi, kalau sebenarnya Abi itu…….” sengaja aku tidak melanjutkan kata-kataku, supaya istriku penasaran.
“Sebenarnya apa Bi? tanya istriku penasaran. Aku pun tetap diam.
“Aah Abi…. Ummi jadi semakin penasaran nih,” kata istriku tidak sabar.
“lya deh, sebenarnya…. Abi itu…..” kembali aku tidak melanjutkan kata-kataku, supaya istriku bertambah penasaran.
“Tuh kan, Abi mulai lagi.” gerutu istriku dengan manja.
“lya deh, ini beneran.” Kataku membujuk. Sambil memandangi wajahnya kupegang tangannya, aku pun melanjutkan kata-kataku.
” Mi…, sebenamya Abi itu sangat sayang sama Ummi. Abi cinta sama Ummi.”
Kulihat wajah istriku merah merona seraya menundukkan wajahnya karena malu dan mungkin bahagia. Aku pikir untuk menunjukkan kasih sayang kepada istriku tidak cukup dengan perbuatan, tapi harus dengan kata-kata pula. Entah kenapa, yang pasti menurutku hal ini sangat penting untuk dilakukan para suami kepada istri mereka.
ooOo
“Nurul, Mas Daus sama Mbak Nikmah mana?” tanya istriku kepada Nurul. Memang seperti biasanya setelah sholat Isya’ berjamaah kami melanjutkan makan malam bersama. Disinilah, biasanya kami saling berbagi cerita, sekaligus aku jadikan untuk forum tausiyah bagi anak-anakku.
“Firdaus, bagaimana …. sudah sholat istikharah dan dipikir masak-masak rencanamu untuk mengkhitbah teman adikmu itu?” tanyaku membuka forum tausiyah.
“Sudah Bi.” jawab Firdaus.
“Daus sudah mantap dengan pilihan Daus. Lagi pula dia juga dakwahnya bagus.”
“Ya…, kalau memang itu pilihanmu dan kamu juga sudah mantap, Abi sama Ummi setuju saja.” Kataku kepada putraku yang sulung ini.
“Abi sama Ummi cuma bisa mengingatkan saja kalau orang berumah tangga itu tidak sama dengan ketika kita berjalan di jalan aspal yang mulus. Pasti akan ada saja cobaan dan godaan.”
“Daus, orang menikah itu tidak cukup hanya berbekal kemampuan biologis dan harta, namun yang harus diperhatikan pula adalah kesiapan ilmu dan mental untuk menghadapi segala sesuatu.” timpal istriku.
“Dan itu tidak hanya dari satu pihak namun harus berasal dari kedua belah pihak, suami dan istri.”
“Apalagi, di jaman dan situasi seperti sekarang kita harus sabar dan tabah,” ujar istriku melanjutkan nasehatnya.
“Daus, apa yang disampaikan oleh Ummi itu benar. Oleh karena itu ingat baik-baik pesan Ummi.” Ujarku menegaskan.
“Kalau begitu, besok kamis, kita datang ke orang tuanya.”
“Kalau begitu, biar dik Nikmah saja besok yang ngasih tahu ke Aisyah kalau kita mau ke sana.” pinta Daus ke adiknya.
ooOoo
“Mi, anak-anak sudah ngumpul di ruang tengah?” tanyaku pada istriku.
“Sudah Bi.”
Sesaat aku menjadi ragu. Karena aku tidak tega kalau anak-anakku sedih apalagi shock. Tapi Istriku meyakinkanku kalau mereka insya Allah siap menerima kenyataan ini. Dengan didampingi istriku aku pun keluar kamar untuk berbicara dengan arak-anakku, terutama Firdaus, Nikmah dan Nurul.
“Kalian tahu kenapa Abi mengumpulkan kalian sekarang?” tanyaku kepada anak-anak.
“Tidak Bi.” Jawab mereka hampir bersamaan.
“Sebetulnya ada berita yang ingin Abi sampaikan kepada kalian.” tegasku.
“Kita semua tahu, kalau kita ini hidup untuk beribadah kepada Allah Swt.” ujarku berusaha menjelaskan kepada mereka.
“Nurul sudah pemah dikasih tahu sama Ummi?” tanyaku kepada Nurul.
“Sudah Bi.” Jawab Nurul sambil menganggukkan kepalanya.
“Dan makna kebahagiaan bagi kita sebagai seorang muslim yang sebenamya bukanlah dengan mendapatkan harta yang banyak, bukan pula dengan mendapatkan wanita yang cantik atau pria yang tampan, bukan pula dengan mendapatkan jabatan dan kekuasaan, dan juga bukan mendapatkan popularitas,” aku melanjutkan penjelasan.
“Kebahagiaan bagi kita yang sebenarnya adalah apabila kita dizinkan oleh Allah masuk ke surga-Nya”.ucapku sainbil memperhatikan wajah anak-anak.
“Dan untuk bisa masuk ke dalam surga haruslah mendapat keridhoan dari Allah. Dan keridhoan Allah hanya bisa kita dapatkan kalau kita mau menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.”
“Dakwah adalah salah satu aktivitas yang diwajibkan oleh Allah kepada seluruh kaum muslimin. Tidak terkecuali Abi”. Begitulah aku berbicara panjang lebar berusaha untuk memberitahu hal yang sebenarnya. Sesekali aku melihat wajah Nurul yang tampak serius dan tegang. Mungkin karena dia belum begitu mengenal dunia dakwah yang sebenamya. Nurul menjadi agak tegang. Ini berbeda dengan kedua kakaknya yang sudah mengenal betul dunia ini..
“Abi yakin kalian sudah paham mengenai perkara ini. Dan itulah aktivitas Abi yang sebenarnya. Abi tahu benar risiko yang akan dihadapi, tapi tak sedikitpun Abi takut,” ujarku meyakinkan mereka.
Semakin lama aku menjelaskan seakan-akan mulut ini semakin berat untuk mengucapkan. Dan hatiku merasa tidak tega menyampaikan berita ini kepada anak-anak. Tapi bagaimana pun juga, mereka harus tahu.
“Daus … Nikmah …. dan Nurul … dua hari yang lalu teman Abi ditangkap oleh aparat kepolisian ketika usai sholat shubuh di masjid Al-Hasanah. Bukan hanya dia, Ustad Is dan Abu Raihan juga ditangkap,” aku berusaha menjelaskan.
“Mereka ditangkap karena aktivitas dakwah yang mereka lakukan.” Sambil menarik nafas dalam-dalam aku melanjutkan kembali penjelasanku.
“Sekarang ini, teman-teman Abi dan juga Abi sedang di mata-matai oleh Intelijen.”
Kulihat mata Nikmah mulai merah seakan-akan menahan air matanya. Tapi aku tetap melanjutkan kata-kataku.
“Oleh karena itu, untuk sementara Abi tidak bisa tinggal bersama kalian. Abi harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari intaian intelijen. Segala urusan dan keperluan sehari-hari kalian akan dibantu oleh paman Ali.”
Aku melihat air mata Nikmah dan Nurul mulai membasahi pipinya. Kuhapus air mata mereka satu persatu seraya mendekap mereka. Kudekati Anakku Firdaus, kupeluk ia erat-erat.? Tak terasa air mataku pun berlinang.
Keesokan harinya setelah sholat shubuh berjamaah, aku masuk ke kamar menemui istriku yang sedang menyiapkan pakaian yang akan kubawa. Kulihat air matanya membasahi pipinya.
“Mi.., Ummi jangan menangis. Ummi harus ikhlas mengahadapi semua ini.” Aku berusaha menegarkan hati istriku.
“Abi minta maaf kalau selama ini Abi mengecewakan Ummi. Abi minta maaf kalau Abi tidak bisa memberikan apa-apa untuk Ummi. Abi juga minta maaf kalau selmna ini Abi belum bisa membahagiakan Ummi dan anak-anak” ucapku.
Tak terasa dadaku basah oleh air mata istriku. Aku bisa merasakan betapa sedih hatinya.? Belum pemah aku melihat istriku menangis seperti ini.
“Menangislah Mi……. menangislah! Keluarkan semua air mata Ummi, biar hati Ummi menjadi lega.”
Setelah istriku selesai menangis, kudekap istriku seraya membisikkan, “Kalau Ummi masih ingin menangis, menangislah. Tapi Abi berpesan, setelah Abi pergi Ummi jangan pernah menangis. Ummi harus tegar menghadapi semua ini.” Kulepaskan dekapanku perlahan-lahan lalu kugandeng tangannya kuajak keluar dari kamar untuk berpamitan dengan anak-anakku.
Kulihat diruang tengah, anak-anak sudah menungguku.
“Nurul…., Nurul harus jadi anak yang baik ya. Bantu Ummi sama Mbak Nikmah. Jadilah Nurul seperti Fatimah binti Muhammad saw.,” ucapku lembut. Kucium pipi Nurul yang basah oleh air matanya. Kudekap erat tubuh mungil Nurul dan dia pun membalas pelukanku. Dalam hati aku bersyukur kepada Allah kalau aku sudah diberi istri yang shalehah dan anak-anak yang shaleh dan shalehah pula.
Kulepaskan pelukanku perlahan-lahan dari tubuh Nurul. Aku berdiri mendekati Nikmah yang dari tadi menangis sambil memeluk Umminya. Kupandangi Istriku yang dari tadi berusaha menenangkan Nikmah.
“Nikmah…, ayo lihat ke Abi” kata istriku dengan lembut sambil menghadapkan wajah Nikmah kepadaku.
Kulihat mata putriku yang pertama ini sembab dan berwama merah. Kudekap ia erat-erat sambil berkata,” jangan menangis. Setiap perjumpaan pasti akan ada perpisahan. Nikmah harus ikhlas menghadapi semuanya. Serahkan semua ini pada Allah”
Kulepaskan dekapan Nikmah perlahan-lahan, sambil kuseka air mata di pipinya. Perlahan-lahan kudekati anakku yang paling sulung. Berbeda dengan adik-adiknya, kulihat Firdaus lebih tegar menghadapi kenyataan ini. Kudekap juga anakku yang sulung ini.
“Jangan kecewakan Abi. Kamu harus menjadi pembela Islam. Kamulah satu-satunya harapan Abi saat ini. Jaga adik-adikmu dan Ummi,” tegasku.
“Kamu harus tegar dan sabar.” Kukecup keningnya sebagai tanda perpisahan.
Sebelum pergi, kuhampiri Istriku. Kukecup keningnya dan berpesan, “Jaga baik-baik anak-anak kita. Jadikan mereka seperti para sahabat Rasulullah. Jadikan mereka sebagai pembela dan pejuang-pejuang Islam.”
Kubuka pintu rumah perlahan-lahan, sambil memandangi mereka kuucapkan salam. Semakin jauh langkahku meninggalkan mereka, semakin yakin pula kalau kami akan bertemu lagi. Wahai Istriku dan anak-anakku, kalaupun di dunia kita tidak bisa bertemu lagi, kutunggu kalian di surga.

(http://dhiyary.wordpress.com)

Bila Al Qur’an bisa bicara !

Waktu engkau masih kanak-kanak, kau laksana kawan sejatiku
Dengan wudu’ aku kau sentuh dalam keadaan suci
Aku kau pegang, kau junjung dan kau pelajari
Aku engkau baca dengan suara lirih ataupun keras setiap hari
Setelah usai engkaupun selalu menciumku mesra

Sekarang engkau telah dewasa…
Nampaknya kau sudah tak berminat lagi padaku…
Apakah aku bacaan usang yang tinggal sejarah…
Menurutmu barangkali aku bacaan yang tidak menambah pengetahuanmu
Atau menurutmu aku hanya untuk anak kecil yang belajar mengaji saja?
Sekarang aku engkau simpan rapi sekali hingga kadang engkau lupa dimana menyimpannya
Aku sudah engkau anggap hanya sebagai perhiasan rumahmu
Kadangkala aku dijadikan mas kawin agar engkau dianggap bertaqwa
Atau aku kau buat penangkal untuk menakuti hantu dan syetan
Kini aku lebih banyak tersingkir, dibiarkan dalam kesendirian dalam kesepian
Di atas lemari, di dalam laci, aku engkau pendamkan.

Dulu…pagi-pagi…surah-surah yang ada padaku engkau baca beberapa halaman
Sore harinya aku kau baca beramai-ramai bersama temanmu di surau…..

Sekarang… pagi-pagi sambil minum kopi…engkau baca Koran pagi atau nonton berita TV
Waktu senggang..engkau sempatkan membaca buku karangan manusia
Sedangkan aku yang berisi ayat-ayat yang datang dari Allah Yang Maha Perkasa.
Engkau campakkan, engkau abaikan dan engkau lupakan…

Waktu berangkat kerjapun kadang engkau lupa baca pembuka surahku (Basmalah)
Diperjalanan engkau lebih asyik menikmati musik duniawi
Tidak ada kaset yang berisi ayat Alloh yang terdapat padaku di laci mobilmu
Sepanjang perjalanan radiomu selalu tertuju ke stasiun radio favoritmu
Aku tahu kalau itu bukan Stasiun Radio yang senantiasa melantunkan ayatku

Di meja kerjamu tidak ada aku untuk kau baca sebelum kau mulai kerja
Di Komputermu pun kau putar musik favoritmu
Jarang sekali engkau putar ayat-ayatku melantun
E-mail temanmu yang ada ayat-ayatkupun kadang kau abaikan
Engkau terlalu sibuk dengan urusan duniamu

Benarlah dugaanku bahwa engkau kini sudah benar-benar melupakanku
Bila malam tiba engkau tahan nongkrong berjam-jam di depan TV
Menonton pertandingan Liga Italia , musik atau Film dan Sinetron laga
Di depan komputer berjam-jam engkau betah duduk
Hanya sekedar membaca berita murahan dan gambar sampah

Waktupun cepat berlalu…aku menjadi semakin kusam dalam lemari
Mengumpul debu dilapisi abu dan mungkin dimakan kutu
Seingatku hanya awal Ramadhan engkau membacaku kembali
Itupun hanya beberapa lembar dariku
Dengan suara dan lafadz yang tidak semerdu dulu
Engkaupun kini terbata-bata dan kurang lancar lagi setiap membacaku.

Apakah Koran, TV, radio , komputer, dapat memberimu pertolongan ? Bila
engkau di kubur sendirian menunggu sampai kiamat tiba Engkau akan
diperiksa oleh para malaikat suruhanNya
Hanya dengan ayat-ayat Allah yang ada padaku engkau dapat selamat melaluinya.

Sekarang engkau begitu enteng membuang waktumu…
Setiap saat berlalu…kuranglah jatah umurmu…
Dan akhirnya kubur sentiasa menunggu kedatanganmu..
Engkau bisa kembali kepada Tuhanmu sewaktu-waktu
Apabila malaikat maut mengetuk pintu rumahmu.

Bila aku engkau baca selalu dan engkau hayati…
Di kuburmu nanti….
Aku akan datang sebagai pemuda gagah nan tampan
Yang akan membantu engkau membela diri
Bukan koran yang engkau baca yang akan membantumu Dari perjalanan di alam akhirat
Tapi Akulah “Qur’an” kitab sucimu
Yang senantiasa setia menemani dan melindungimu

Peganglah aku lagi . .. bacalah kembali aku setiap hari
Karena ayat-ayat yang ada padaku adalah ayat suci
Yang berasal dari Alloh, Tuhan Yang Maha Mengetahui
Yang disampaikan oleh Jibril kepada Muhammad Rasulullah.

Keluarkanlah segera aku dari lemari atau lacimu…
Jangan lupa bawa kaset yang ada ayatku dalam laci mobilmu
Letakkan aku selalu di depan meja kerjamu
Agar engkau senantiasa mengingat Tuhanmu

Sentuhilah aku kembali…
Baca dan pelajari lagi aku….
Setiap datangnya pagi dan sore hari
Seperti dulu….dulu sekali…
Waktu engkau masih kecil , lugu dan polos…
Di surau kecil kampungmu yang damai
Jangan aku engkau biarkan sendiri….
Dalam bisu dan sepi….
Mahabenar Allah, yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. 

(http://dhiyary.wordpress.com)

cerpen remaja islam

Sayup-sayup terdengar alunan syahdu bacaan ayat-ayat suci Al Quran dendangan ibu. Dengan mata yang baru terbuka separuh, aku menoleh ke arah jam di dinding. Dalam samar-samar cahaya lampu tidur aku mengagak… baru pukul empat lebih. Apahal pula ibu bangun membaca surat-surat Allah di kala orang lain dibuai mimpi? Belum pernah aku mendengar ibu membaca Al Quran walaupun pada siang hari. Apatah lagi pada pagi-pagi buta begini. Aku juga tidak pasti sama ada ibu mampu bertilawah dengan baik atau tidak. Aku bingkas bangun lalu membetulkan urat-urat badan.Sebaik-baik sahaja pintu bilik dibuka, aku ternampak Najib, adik bongsuku sedang mengulangkaji pelajaran agaknya di meja tulis comel diterangi lampu kecil. Rasa hairan bermain dalam dada… tak pernah si Najib ni “study” sebelum subuh. Selalunya dia berjaga sampai pukul dua baru masuk tidur. Apakah dia mendapat petua baru? Atau… adakah Ustaz Azman berpesan apa-apa?
Teringat aku sewaktu di tingkatan tiga dulu. Dalam satu perkhemahan pengakap, Ustaz Azman dijemput memberikan tazkirah selepas solat fardhu Maghrib berjemaah. Ada dia menyentuh tentang “study”. Dari situlah aku baru mengetahui masa terbaik untuk “study”, yang akan memudahkan hafalan, menyihatkan tubuh badan, mendatangkan hidayah dan barakah, mengilhamkan pemahaman serta lebih mendekatkan diri kepada Allah- pada dua pertiga malam iaitu antara pukul dua pagi hinggalah ke waktu subuh. Boleh jadi… Najib pun dah tahu.
Aku mengintai ke bilik ibu yang sememangnya tidak berpintu, hanya dihijab sehelai kain pintu berwarna hijau berbunga biru muda dan merah jambu. Ibu masih melagukan ayat-ayat Allah dengan nada suara sederhana. Ibu bertelekung! Sudah tentu ibu bangun solat malam. Peliknya! Sebelum ini ibu hanya solat Maghrib dan Isya’ saja, waktu-waktu lain tak berapa ambil berat.
Lebih pelik lagi… kulihat ayah dengan berketayap putih duduk bersila di tepi katil. Keadaannya seolah-olah orang sedang bertafakur. Mulutnya kumat-kamit. Kupasang telinga baik-baik, apalah agaknya yang ayah baca tu. Sesekali agak keras suaranya.
Subhanallah… ayah sedang mengkhatamkan zikir persediaan Naqsyabandiah. Selama inipun memang aku ada mengamalkannya sendiri-sendiri. Zikir itu kuperolehi sewaktu mempelajari ilmu perubatan Islam daripada Darus Syifa’ kelolaan Dr. Haron Din di universiti dulu. Daripada mana pula ayah memperolehinya? Setahu aku… ayah jarang-jarang solat. Berjemaah ke surau teramatlah jauhnya kecuali sewaktu Kak Ngah nak kahwin-sebab takut orang kampung tak datang gotong-royong masak. Lepas tu haram tak jejak kaki ke surau.
Aku beredar ke ruang tamu. Keriut bunyi lantai papan yang kupijak telah menyedarkan Shahrul, seorang lagi adik lelakiku. Lampu ruang tamu tak bertutup rupanya.
“Dah pukul berapa kak?”
“Emmm… dah empat lebih,”sahutku sambil melabuhkan punggung di atas kusyen.
Shahrul bangun dan terus ke bilik air. Tak lama kemudian dia masuk ke biliknya. Aku pasti dia sembahyang.
Apa dah jadi dengan rumah ni? Naik bingung seketika…
Aku rasa Shahrul terlena sewaktu membaca kerana ada sebuah buku di kusyen panjang tempat tidurnya tadi. Masih cantik sifat-sifat buku itu, mungkin baru dibeli. Kucuba membaca tajuknya… Perjuangan Wali Songo di Indonesia. Masyaallah, Shahrul boleh tertidur membaca buku tersebut? Aku yakin si Shahrul ni tak pernah baca buku-buku agama pun. Yang diminatinya tak lain itulah… majalah sukan, komik dan hiburan. Seribu satu macam pertanyaan berlegar dalam kepalaku.
Memang pernah ayah dan adik-adik bangun atau berjaga malam… untuk menonton perlawanan bola sepak. Tetapi kali ini mereka bangun untuk beribadah!
Sudah lebih lima tahun aku berusaha untuk menghidupkan roh Islam di rumah ini namun kejayaannya cuma secubit. Keluargaku tidak menunjukkan minat untuk membudayakan Islam dalam rumah kami. Kalau ayah dan ibu sendiri menentang, bagaimana dengan adik-adik? Kak Long Tikah dan Kak Ngah Ilah masing-masing telah berumahtangga, jadi… tak kisahlah. Namun ada keganjilan yang sukar kutafsir tika ini sedang berlaku di dalam rumah.
Selepas solat tahajjud aku terus berbaring. Lesu akibat perjalanan jauh masih terasa. Maklumlah, baru tengah malam semalam tiba dari Kota Jakarta, tempat kubekerja sebaik-baik sahaja lulus dari universiti.
Aku terjaga sekali lagi apabila deruman enjin motosikal menerjah gegendang telingaku. Kalau tak silap itu bunyi motosikal ayah. Motosikal mula bergerak lalu menuju ke jalan besar. Menurut di belakang adalah bunyi kayuhan basikal. Makin lama makin jauh.
“Ada… ooo Ada,” laung ibu sambil mengetuk pintu bilik.
“Ya mak,” sahut ku lemah.
“Bangun solat Subuh ye nak.”
“Ha’ah,” aku patuh.
“Mak… ayah pergi mana?” soalku ingin tahu.
“Ke surau dengan adik-adik… berjemaah.”
Alangkah indahnya suasana fajar kali ini. Inilah suasana waktu fajar yang telah lama kuimpikan. Selama beberapa tahun aku merindukan suasana ini… rindu pada kedamaian, rindu pada ketenangan, rindukan kesejahteraan dan juga kebahagiaan hidup berbudayakan roh Islam. Dulu, subuh-subuh begini hanya ada aku seorang… bersama Kekasih, kini sudah ramai… juga bersama Kekasih. Terasa rumahku yang selama ini suram mula bercahaya… telah ada jiwa…
@@@
Aku menolong ibu menyediakan sarapan di dapur. Rezeki kami pada hari itu adalah cempedak goreng. Ayah masih di bilik. Menurut ibu, ayah akan terus berzikir sehingga terbit matahari pada hari-hari cuti. Tidak ada seorangpun ahli keluarga yang berbaring atau tidur. Semua ada aktiviti masing-masing selepas solat Subuh. Bukankah tidur selepas Subuh itu membawa kemiskinan, penyakit, malas dan lain-lain kesan negatif?
Shahrul dan Najib berada di bahagian belakang rumah yang sememangnya agak luas. Pada mulanya aku berasa janggal melihat mereka bersiap-siap. Apabila kutanya jawab mereka “nak riadah, ayah suruh”. Bukankah sebelum ini mereka kaki tidur nombor satu? Kalau hari cuti, dah tentu pukul sepuluh ke atas baru bangun. Lepas bangun menonton televisyen. Tengah hari baru mandi. Sekarang sudah berbeza benar.
Sesekali aku menjenguk mereka melalui tingkap dapur. Kalau tadinya mereka terkejar-kejar berlari anak keliling rumah, kini mereka berkuntau pula. Memang budak-budak berdua ni aktif dalam persatuan silat di sekolah, tapi tak pernah pula mereka berlatih pada waktu pagi. Bergomol dan berkunci-kuncian sampai basah kena air embun di rumput. Ini rupanya riadah mereka. Eloklah… memang digalakkan Islam.
Pagi itu kami menghadap sarapan secara berjemaah, semua ada. Ayah sendiri yang membaca doa beserta maksudnya sekali. Amboi, hebat juga ayah kami ni! Aku mengingatkan adik-adik supaya selalu menyebut nama Allah di dalam hati sepanjang masa makan. Mak dan ayah mengiyakan kata-kataku itu. Seronok rasanya mendapat sokongan mak dan ayah. Sebelum ini kalau aku menegur adik-adik tentang agama, cepat benar muka mereka berubah. Namun Allah Yang Maha Merancang bisa mengubah segalanya. Syukur.
Ayah ke pasar bersama Shahrul sementara Najib pergi ke rumah kawannya Hafiz untuk meminjamkan kaset kumpulan nasyid Raihan dan Diwani. Peluang ini kuambil untuk mengorek cerita daripada ibu.
“Mak, Ada rasa seronok balik kali ini.”
“Iyelah, dah dekat setahun Ada tak balik… tentulah seronok,” balas ibu sambil tersenyum.
“Ada rasa kan mak, rumah kita ni dah ada roh… tak macam dulu…”
Ibu tidak terus menjawab apa-apa. Dia menarik nafas panjang. Kepalanya didongakkan ke dinding, menatap sebuah lukisan pemandangan yang cantik hadiah daripada menantunya Zamri, suami Kak Long. Lukisan itu adalah hasil tangan Abang Zamri sendiri
“Ini semua kerja Allah Ada. Mak sedar Ada sentiasa cuba merubah cara hidup keluarga kita… supaya kita berpegang dengan budaya Islam. Kami pandang remeh aje segala saranan dan teguran Ada.”
Ibu mengalihkan pandangannya ke arahku. “Itulah… kalau Allah nak ubah, siapapun tak sangka.”
“Apa dah jadi Mak?” soalku lebih serius.
“Abang Zamri Ada tu le… bukan sebarangan orang. Dalam diam-diam dia mendakwahkan budaya hidup Islam kat kita. Memanglah mulanya tu kami buat tak tahu… dia berjemaah ke surau ke, dia baca Quran ke, berzikir ke, cara dia berpakaian ke, apa ke di rumah kita ni.”
Memang kuakui Abang Zamri lain daripada yang lain. Sejak mula berkahwin dengan Kak Long lagi jelas perawakannya yang mulia. Gerak lakunya sopan. Tidak pernah meninggi diri.Tidak bergurau berlebih-lebihan. Hormat kepada orang tua. Mengasihi adik-adik. Kalau berbicara dengannya, dia tidak pernah lari daripada berbicara tentang Islam. Dia seolah-olah tidak terpengaruh dengan keseronokan dunia. Tidak ada perkara lain yang dicintainya selain daripada berjuang untuk Islam.
Abang Zamri jarang sangat pernah bercerita tentang kereta mewah, rumah besar, duit banyak, pangkat tinggi, perempuan cantik, muzik, filem, bolasepak, para artis, pakaian cantik dan lain-lain sedangkan semua itu diperkatakan sehari-hari dalam keluarga kami. Sememangnya dia ada kelebihan yang dikurniakan Allah SWT. Entahlah apa yang telah dibuatnya hingga keluarga kami berubah. Ingin kutanya pada ibu tapi… tunggulah nanti, apabila ada masa yang sesuai, insyaallah.
@@@
“Mak, Ayah, Shahrul dan Najib pergi ke rumah mak mertua Kak Long Ada… rumah keluarga Abang Zamri…”
“Mak ke Terengganu?” soalku.
“Iye, cuti penggal sekolah hari tukan Ada tak balik… kami pergi le ziarah besan kami.”
“Habis tu… apa yang jadi?”
Ibu terus bercerita dengan anjang lebar sambil kami melipat kain baju. Menurut ibu, keluarga Abang Zamri bukanlah orang senang. Adik-beradiknya seramai sembilan orang. Namun corak kehidupan mereka sungguh aman bahagia dan tenang Banyak perkara baru yang ibu dan ayah pelajari selama lima hari berada di sana.
Waktu tiba di kampung halaman Abang Zamri, keluarga kami disambut meriah dan penuh hormat. Gembira sungguh mereka menerima tetamu. Masing-masing dengan wajah ceria dan menampakkan ketenangan. Adik-adik Abang Zamri semua mencium tangan ibu dan ayah sementara Shahrul dan Najib dipeluk seolah-olah kawan lama. Ayah dan ibu agak terkejut dengan situasi tersebut kerana sebelum ini anak-anak sendiri pun susah nak cium tangan.
Rumah mereka bersih walaupun tidak mewah. Begitu juga dengan halamannya yang terjaga. Irama nasyid, bacaan al Quran, zikir munajat dan ceramah agama silih berganti kedengaran daripada radio kaset mereka. kalau di rumah kami tu, dari padi sampai ke malam dipenuhi dengan lagu-lagu artis tempatan dan luar negara.
Waktu Subuh sangat indah di sana. Sejak jam empat pagi lagi rumah itu telah dipenuhi dengan ibadah-ibadah sunat. Ada yang bertilawah, ada yang berzikir, ada yang solat dan sebagainya. Kemudian, yang lelakinya beramai-ramai solat fardhu Subh berjemaah ke masjid. Oleh kerana malu-malu alah, Ayah pun terpaksalah bangun dan pergi ke masjid sekali.
Dari awal pagi lagi keluarga Abang Zamri yang lelakinya turun ke pantai yang nampak dari rumah mereka. Mereka duduk mengelilingi Pak Luqman, bapa kepada Abang Zamri untuk mendengar tazkirah pendek. Kemudian adik-adik Abang Zamri yang kecil berlari-lari anak dalam satu barisan sepanjang pantai. Abang Zamri dan bapanya pula membasahkan tubuh dengan air embun yang diambil daripada pokok-pokok kayu. Tujuannya untuk menjaga kekuatan badan. Ayah hanya tersengih apabila dipelawa oleh Pakcik Luqman. Begitulah rutinnya setiap pagi selama ayah dan ibu berada di sana.
Waktu bersarapan tiba. Semua isi rumah ada, tidaklah seperti rumah kami- sarapan sendiri-sendiri. Mereka menghadap makanan dengan wajah yang manis, dimulakan dengan doa. Alangkah mesranya hubungan sesama mereka. Terasa suatu perasaan tenang yang sukar digambarkan. Sepanjnag masa makan, mereka banyak berbucara tentang kebesaran Allah dan nikmat-nikmat-Nya. Ayah dan ibu terpaksa bermuka-muka kerana tak tahu apa yang nak dicakapkan. Nak menyampuk… takut tak kena pula jalannya.
Selepas mengemaskan rumah secara bergotong-royong, adik-adik Abang Zamri berkumpul di serambi rumah. Mereka disertai oleh dua tiga orang anak-anak jiran. Rupanya mereka berlatih nasyid, siap dengan genderangnya sekali. Mereka mendendangkan lagu-lagu nasyid popular dan juga lagu ciptaan mereka sendiri. Sura mereka yang berharmoni indah bergema sampailah ke tengah hari. Kata emak Abang Zamri, kumpulan nasyid budah-budak itu sering menerima jemputan di sekitar daerah. Selama lima hari di sana, ibu sudah jatuh cinta dengan irama nasyid. Boleh dikatakan setiap album nasyid terbaru mesti dibelinya selepas itu. Dulu, ibu bukan main lagi… dengan karaoke dangdutnya yang terdengar sampai ke tengahjalan. Tentu ibu malu kalau terkenangkannya.
Kononnya hubungan Pakcik Luqman dengan isterinya sangat baik… macam baru berkahwin. Mereka selalu tersenyum dan bergurau, malah nampak malu-malu walaupun sudah tua. Kalau duduk tu… mesti nak rapat-rapat. Isterinya pun bukan main taat lagi kepada suami. Mungkin inilah yang membuatkan ibu dan ayah terasa sangat. Al maklumlah, mereka di rumah memang tak ampak mesra. Bergurau jarang, bertegang leher selalu. Benda kecil pun nak bertekak. Ayah balik dari luar pun tak pernah ibu sambut. Masing-masing dengan hal sendiri. Berbincang hal agama… jauh sekali.
Pelbagai pengalaman baru yang ibu dan ayah dapat di Terengganu. Agaknya mereka telah menemui formula keluarga bahagia… dan mahu mempraktikkannya dalam keluarga kami. Alangkah indahnya keluargaku kini…alangkah sayangnya Allah kepada keluargaku…aku bersyukur kepada-Mu ya Allah.
“Eh, Ada dengar ke apa yang Mak ceritakan ni?” soal ibu apabila melihat aku tersenyum mengelamun.
“Eh… mmm…dengar Mak”, jawabku serba salah.
“Mak sebenarnya berkenan pulak dengan sepupu Abang Zamri di terengganu yang ama Shahrul tu…”
“Alah mak ni… nak cerita pasal kahwin le tu”, cetusku lalu segera beredar ke dapur.

(http://inarysa89.wordpress.com)

Cerpen islami - Asma Nadia -

Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -

(dunia-cerpen.blogspot.com)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More