tag:blogger.com,1999:blog-25021396889082509902024-03-13T12:00:58.752-07:00LDK UNIV. KARIMUNUkmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.comBlogger20125tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-25017632619095588742011-06-01T08:42:00.000-07:002011-06-01T08:42:49.901-07:00Gadis kecil bernama Aisha<div class="log_book" style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Berdasarkan kisah nyata… hanya namanya yang berubah. tidak ada maksud menggurui. hanya ingin mengenang. dan semoga kalian semua ingat apa yang sudah para pahlawan lakukan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.”</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Jakarta, 1999</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Sastro terbaring di atas ranjang berbalut seprai putih sambil bersenandung. Cucu perempuannya tampak membaringkan kepalanya di sisi kakeknya ikut menikmati nyanyiannya walaupun gadis kecil itu jelas tidak mengenal lagunya. Sekali lagi, si cucu menyodorkan sebuah Juz Amma untuk kakeknya. Sastro hanya tersenyum, tahu akan apa yang bakal dikatakan cucunya.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span id="more-42"></span> “Ayo kek, Aisha ajarin baca Al-Fatihah ya” pintanya polos dengan mata berharap.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “lagi? Kemarin kan sudah…” elak Sastro dengan nada bercanda, walau suaranya terdengar parau, akibat tubuhnya yang kian melemah.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “kemarin kan kakek belum selesai bacanya” protes Aisha sebal.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “kakek ngantuk Aisha, kakek kan sakit” elak Sastro lagi kemudian langsung membalikkan tubuhnya pura-pura mendengkur. </span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Aisha tidak melanjutkan protesnya, dia percaya kakeknya benar-benar tidur. Gadis kecil itu berjinjit untuk mencium kening kakeknya dengan sayang.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “maafin Aisha ya udah ganggu kakek, met bobo” Sastro tetap pura-pura tidur. </span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sebenarnya Sastro sudah sejak lama hafal Al-Fatihah, bahkan hampir seluruh isi Al-Quran dia hapal. Bukankah dulunya dia seorang guru ngaji sebelum masuk tentara? Sastro serta merta teringat peristiwa lalu, kejadian pahit yang telah merubah hidupnya.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Aceh, 1953.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Peristiwa DI/TII, dimana sekelompok ekstrimis sedang memperjuangkan terwujudnya Indonesia sebagai negara Islam. Cuaca ketika itu mendung dengan angin berhembus kencang. Tampak para pejuang kedaulatan Indonesia sedang berpatroli di sekitar barak mereka yang sederhana. </span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Pakaian mereka tampak lusuh bersaput debu mesiu serta darah yang mengering. Janggut dan rambut juga dibiarkan tumbuh tanpa dicukur. Sastro ketika itu berpangkat letnan, sepuluh orang tentara muda menjadi tanggung jawabnya. Bedil senantiasa di tangan dan mata selalu awas berjaga.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “sudah enam hari” kata rekannya yang bernama Basri sambil memainkan pisau.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “kau rindu dengan istrimu?” ledek Sastro.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “ngaco kamu, aku hanya kangen merokok, mulutku sepat rasanya” elak Basri.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “di belantara begini mana ada yang menjual rokok” tanggap Sastro terkekeh.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “aku ingin mencari di rimbunan semak sana. Pasti ada pohon tembakau walaupun cuma sebatang” kata Basri menunjuk sekumpulan tanaman lebat tak tertembus cahaya.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “tapi lumayan jauh dari perkemahan kita, berbahaya kalau kamu pergi sendiri” cegah Sastro yang ditanggapi Basri dengan tawa.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “sudah berapa tahun kau jadi tentara? tahukah kau berapa kali peluru nyaris membunuhku? Bah! Takdir di tangan Allah! Sudahlah kalau kau begitu khawatir kau ikut saja denganku” sahut Basri.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Sastro memandang kawan-kawannya yang tampak berjaga. Terbesit perasaan ragu dalam dirinya. Memang bukan sekali ini dia ikut berperang. entah berapa kali dia nyaris mati dalam perjuangannya. Tapi kali ini entah mengapa hatinya terasa berat sekali untuk mengikuti Basri.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “kau mau ikut tidak?” Tanya Basri lagi. Dia akhirnya memutuskan untuk ikut. Sastro tahu Basri keras kepala, kalau sahabatnya mati, Sastro tidak akan pernah memaafkan dirinya. Siapa tahu para pemberontak itu akan membunuh Basri ketika dia sendirian.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Benar kata basri, beberapa batang pohon tembakau tampak tumbuh tegar di sana. Basri mengincar daun-daun yang sudah mengering, agar bisa langsung dilinting untuk dibakar.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “ah nikmatnya” Basri menghela kepulan asap racun keluar dari paru-parunya. Baru saja mereka berpikir untuk kembali ke barak. Tiba-tiba terdengar samar suatu letusan senjata. Pertanda markas mereka tengah diserang.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “Bedebah!” maki Basri sambil melemparkan lintingan tembakau yang susah payah dia dapatkan. Sastro gemetar karena firasatnya terbukti. Teman-temannya dalam bahaya.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Dan ketika mereka kembali ke tenda semua sudah terlambat. Sastro meraung murka karena para musuhnya berhasil kabur. Gerilyawan pemberontak itu juga meninggalkan tanda mata untuk Sastro dan tentara lain yang tersisa. Kepala-kepala tanpa tubuh, ditancapkan pada ruas-ruas bambu menghiasi tenda mereka.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “mereka datang dengan pasukan yang tiga kali lipat lebih banyak dari kita” seorang anak buahnya menyeret tubuhnya yang terluka untuk melaporkan kejadian tadi kepada atasannya.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Sastro memeluk tubuh-tubuh tak bernyawa itu dengan air mata berlinang. Sementara Basri dan prajurit lain yang tersisa mencoba menenangkannya.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “Ini perang Sastro…” Rintih Basri.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “tidak hanya kita yang kehilangan, mereka juga…” tambah yang lain walau semua itu tidak berpengaruh bagi Sastro.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Sastro mengelilingi perkemahan, menyaksikan mimpi buruk yang paling dihindarinya. Mayat-mayat bergelimpangan, kepala terpenggal, usus berhamburan. </span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Sastro tidak habis pikir. Mereka Islam, tapi mereka tersesat terlampau jauh. Sebagai mantan guru ngaji dia sangat mengerti aturan peperangan. kalau mereka memang memahami kitab suci mereka tidak mungkin berani menyiksa musuhnya sedemikian rupa. Mereka seharusnya tahu kalau jiwa mereka yang membunuh di peperangan karena amarah dan nafsu tidak akan diterima di surga. Sastro gelap mata. Pikirannya tertutup amarah.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“aku tidak mau Sholat lagi! Aku tidak mau disamakan seperti mereka!” Teriaknya berulang-ulang.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “Astaghfirullah Sastro..Istighfar” ujar Basri untuk menenangkannya. Tapi otak Sastro sudah lebih dulu tersaput dendam.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Jakarta, 1999.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Sastro meneteskan air mata. Dia kini sudah menjadi kakek renta yang sedang menunggu ajal. Tubuh yang dulunya tegap berisi kini tinggal tulang berbalut kulit. dia takut mati. Dosanya terlampau besar. Dia malu terhadap sang pencipta.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Salah seorang anaknya mendekati ranjang. Dialah ibu dari Aisha. Gadis kecil yang tidak pernah jera meminta kakeknya mengaji.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “pak…” putrinya memandangnya lekat-lekat, ingin memulai pembicaraan. Tampak matanya sembab seperti habis menangis.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “dokter bilang umur bapak tidak lama lagi kan?” tebak Sastro. Putrinya menggeleng lemah.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “dokter tidak bilang begitu, dia hanya bilang kalau bapak sakit parah dan sulit diobati”</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “itu sama saja” tanggap Sastro sambil tersenyum pahit. Kepalanya tiba-tiba pening. Pandangan matanya mengabur seakan ada ribuan kunang-kunang mengitari dirinya. dia lalu mengenang hidupnya yang tidak pernah membosankan.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Selama sisa hidupnya sastro dikenal sebagai orang yang baik. Dia tidak pernah mabuk-mabukan. Dia tidak pernah main perempuan. Dia selalu berkurban setiap Idul Adha. Dan Entah sudah berapa Mushola di Jakarta yang terus berdiri dan kokoh berkat sumbangan darinya.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Satu yang Sastro sesali adalah dia tidak pernah Sholat. Rasa ego dan janji bodohnya di masa lalu yang menyatakan tidak mau lagi menginjak sajadah membuatnya malu terhadap Sang Pencipta. Dia takut ibadahnya tidak diterima. Kini dia bahkan hampir lupa bagaimana caranya Sholat.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “pak…” sapa putrinya yang segera membuyarkan lamunannya.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “bapak belajar Sholat ya?” lanjut putrinya. Sastro cukup terkejut, karena selama ini putrinya seakan tidak pernah mempermasalahkan keislamannya. Sastro diam saja.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “bapak sudah tahu dari dulu kan kalau mereka yang membunuh anak buah bapak secara sadis waktu perang dulu, sebenarnya adalah orang-orang yang tidak paham sama agamanya sendiri?” Sastro terbatuk, dia terkejut.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “kamu kok tahu nak?” Tanya Sastro. Putrinya hanya tersenyum menenangkan.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “beberapa tahun lalu pak Basri pernah cerita sama Lala, bapak jangan terus mendendam. Bapak jangan terpengaruh sama masa lalu. Percayai hati nurani bapak saja…” ujar Lala putrinya sabar. Sastro kembali membisu selama beberapa detik.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “Bapak malu nak…” kata sastro akhirnya. Sebelum Lala sempat menanggapi. Pintu kamar Sastro terbuka. Dan masuklah Aisha, gadis kecil yang terus meneror Sastro selama beberapa tahun ini.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “eh kakek udah bangun, sini Aisha ajarin baca Al-fatihah” Sastro merasa kehangatan tiba-tiba merayap di tubuhnya.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> “boleh, tapi ajarinnya pelan-pelan ya” Sastro berharap, ketika ajalnya menjemput. Dia bisa pergi dengan perasaan bangga.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><br />
</div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">(http://dhiyary.wordpress.com) </span></div>Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-42218093011557229232011-06-01T08:38:00.000-07:002011-06-01T08:39:34.047-07:00Salman Al Farisi dari Kota “Amoy”<h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">“Asyhadu Allah Ilahaillallah Waasyhadu Anna Muhammad Rasulullah.” Kalimat tauhid atau kalimat dua syahadat itu keluar dengan terbatah-batah dari lisan Salman Al farisi. Kalimat itu diulangnya dua kali.<span id="more-54"></span></span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;"> “Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah adalah utusan Allah,” Gumam Salman mengartikan. Lancar. </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Selesai Salat Jumat, Salman duduk bersimpuh di atas sajadah di Masjid Agung Kota Singkawang. Ia menghadap ke barat. Kiblat. Sikapnya menjadi pusat perhatian puluhan jamaah. </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Pengucapan kalimat sahadat itu dipandu Effendi M. Saat selaku ustadz. Hanafi dan Agus Arifin sebagai dua saksi. Di tempat itu juga, terdapat Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Singkawang Barat, Musmuthalib. </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">“Selain dua saksi yang ada, bapak yang ada di masjid ini juga sebagai saksi keislaman dari saudara kita,” kata Musmuthalib.</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Sebelum masuk ke agama Islam, Musmuthalib mengatakan Salman harus menandatangani dua surat pernyataan. Pertama berisikan kesediaan keluar dari agama lama. Kedua berisikan pernyataan bersedia masuk ke agama baru. </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Pada Salman Mutahlib menjelaskan perbedaan dan persamaan antara agama yang lama dan agama yang baru dipeluknya. Untuk kesamaannya, semua agama tidak ada yang mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat kejahatan. Sementara perbedaannya terletak pada ibadah</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">“Ada salat lima waktu, puasa, dan lainnya,” kata Musmuthalib.</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Bukan hanya ibadah, perbedaan antara Islam dengan agama lain terletak pada makanan. Umat Islam dilarang untuk memakan babi. </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">“Memelihara, menyentuh tidak diperbolehkan,” </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Musmuthalib hanya menjelaskan secara garis besar. Salam kemudian diserahan pada Effendi. Sekitar lima menit dialog dilakukan. Effendi pun bertanya.</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">“Apakah anda betul-betul ingin masuk agama Islam?<br />
“Apakah ada paksaan dari luar?</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Salman menjawab.</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">“Saya sudah mempunyai tekad kuat!”<br />
‘Tida ada yang memaksa!”</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">“Apakah anda bersedia mengucapkan kalimat sahadat?<br />
“Bersedia.”</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Cukup dengan dua pertanyaan. Effendi dan Salman duduk berhadapan.Effendi genggang tanan Salman. Seperti bersalaman. Ucapan sahadat yang keluar dari mulut Effendi pun ia ikutkan. Mulai hari itu, Salman resmi memeluk Islam.</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Ritual lancar. Effendi menyanggulkan jubah dari Makkah nya kepundak Salam. Songkok hitam dipakaikan. Kitab suci quran pun dihadiahkan. Semua terharu. Peluk dan cium dari jamaah untuk Salman pun berlangsung.</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">***<br />
Bong Jun That. Itulah nama asli Salman. Ia saya kenal di lantai atas Hotel Prapatan Kota Singkawang, sebelum salat Jumat. Ia tidak sendirian. Ia didampingi, Maksum, selaku pengurus Yayasan Chengho, Andry Lamfield dari PITI Kota Singkawang, dan Maya Satrini dari Forom Solsial. Saat saya datang mereka duduk satu meja.</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Atas izin ke tiga orang itu, Salman dan Saya memilih memisah. Sekitar lima belas menit perbincangan kami lakukan. </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Bhong Jun That, warga kelahiran Singkawang. Ia beretnis Tiong Hoa. Ia dibesarkan oleh keluarga Khonghocu. Dari kecil hingga berusia 46 tahun agama itu disandangnya. Kini Salman tinggal bersama mertuaya di Desa Sainam. </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Salman mengatakan kenal agama Islam waktu bekerja sebagai kepala bagian di salah satu perusahaan tekstil di Semarang, tahun 1990-1992. di perusahaan itu ia banyak bergaul dengan warga Islam. Dari perkenalan itulah, terbesit dalam niatnya untuk pindah agama. Namun belum hidayah. </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Diperkirakan tahun 2006, saat berada di Jakarta Bong Jun That bertemu dengan Maksum. Tentang agama Islam kembali dibicarakan. Niat Bong untuk pindah agama kembali menguat. Pertemuan Bong Jun Than dengan Maksum terus berlanjut hingga ke Singkawang. Dan dengan dorongan Maksum, Islam pun dipeluknya. Salman Al farisi, sebagai nama barupun disandangnya. </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Sebelum masuk agama Islam, Salman sempat masuk dibeberapa agama. Diantaranya Budha dan Konghocu. Namun semua agama itu tidak membuat Salman tenang. </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">***<br />
Salman mempunyai seorang istri dan enam orang anak. Salman mengatakan, semua orang dekatnya tersebut belum mengetahui tentang keislamannya. </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">“Mereka tidak akan mencegah,” kata Salman. </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Walau demikian, Salman tidak yakin, keislamannya akan didukung oleh sang istri dan anak. Dengan kondisi seperti, semangat Salman tidak tergoyahkan. Ia bertekat untuk tidak meninggalkan agama Islam.. </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">“Ini agama terakhir saya, saya tidak mungkin pindah agama.” </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Bahkan Salman berdoa, mudah-mudahan istri dan anak-anak, suatu saat mengikuti jejaknya soal agama.</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">“Saya berharap mereka ikut jejak saya.” ujar Salman.</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Begitu juga dengan para sahabat. Ada yang mengetahui dan tidak, atas niat Salman untuk masuk ke agama Islam. Diantara para sahabat yang mengetahui rencana Salman bersikap tidak percaya.</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">“Karena mereka tahu saya orang yang suka pindah agama.”<br />
“Tapi yang lainnya mendukung saya.” ujar Salman.</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">***<br />
Keislaman Salman disambut baik Ketua Perasutuan Iman Tauhid Indonesia (PITI) Kota Singkawang, H. Herman. Dengan mata berkaca-kaca, pria yang saya temui di masjid Agung Kota Singkawang tersebut berulang kali mengucapkan sukur. </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Selanjutnya, Herman mengatakan, dibawah naungan PITI, Salman akan dibimbing untuk mengenal islam secara mendalam. Salman akan diajarkan bagaimana membaca Quran, menjalankan salat, dan berbagai ibadah lainnya.</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Untuk memudahkan Salman berlajar, Herman mengatakan para pembimbing akan datang langsung ke rumahnya. Dan selanjutnya, Apabila Salman mulai paham dan mengerti, Maka Salman dipersilahkan untuk datang sendiri ke sektariat. </span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">Dengan masuknya Salman, Herman mengatakat telah menambah jumlah warga Tiong Hoa Kota Singkawang yang masuk Islam. Berdasarkan data, jumlah keseluruhan warga Tiong Hoa Kota yang beragama Islam sekitar 400 orang</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">“Dan dia warga Tiong Hoa terbaru yang masuk Islam,” kata Herman.</span></h4><h4 style="color: black; font-weight: normal;"><span style="font-size: small;">(http://dhiyary.wordpress.com) </span></h4>Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-13236049895869862822011-06-01T08:36:00.000-07:002011-06-01T08:36:16.631-07:00Kutunggu Kalian di Surga<div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dua puluh lima tahun sudah usia pernikahanku. Alhamdulillah, aku telah dikaruniai empat orang anak, Firdaus (23 th), Nikmah Syahidah (20 th), Nurul Azizah (10 th), dan Akhmad Fikri (3 th). Kami merasa cukup dengan apa yang kami miliki, walaupun secara materi kehidupan keluarga kami sangatlah pas-pasan. Bahkan dengan penuh perhatian, istriku selalu membimbing dan mengingatkan anak-anakku untuk selalu bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya. Itulah yang membuat aku ikhlas untuk meninggalkan mereka demi untuk dakwah Islam. Aku tidak merasa gentar dengan semua cobaan yang menimpa mereka karena Allah-lah yang akan menjadi penolong dan pelindungnya.<span id="more-43"></span></span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Bi, ada telpon ! “panggil Nikmah.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Panggilan Nikmah membuatku harus menghentikan pekerjaanku. Bergegas aku menuju ke telpon. Setelah kuterima telpon, aku menghampiri Nikmah yang sedang menyuapi Fikri. ” Nikmah, Ummi mana ?” tanyaku pada anak perempuanku yang selalu membantu Umminya merawat adik-adiknya.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Di belakang Bi, sedang nyuci pakaian”, jawab Nikmah.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Benar, kudapati istriku sedang mencuci pakaian. Walaupun begitu, tak pemah kulihat istriku mengeluh ataupun marah karena kerjaan di rumah begitu banyak. Bahkan di depanku dan anak-anak selalu menampakkan wajah yang ceria, walaupun kondisi badannya sedang letih dan tidak enak badan. Ya..Allah, aku bersyukur kepada-Mu di masa yang sulit ini istriku masih tetap tabah dan sabar.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Memang, semenjak pimpinan di perusahaan tempat aku kerja mengetahui aku terlibat dengan gerakan yang ingin menerapkan hukum-hukum Allah dengan cara menegakkan Khilafah Islamiyyah–, pimpinanku langsung mem-PHK-ku. Apalagi, semenjak penguasa negeri ini bekerja sama dengan AS dan sekutu-sekutunya untuk menumpas habis para dai yang ingin memperjuangkan Islam. Semua lapangan pekerjaan menjadi tertutup. Banyak dari kalangan pejuang Islam yang kesulitan mencari nafkah untuk keluarganya. Bahkan anak-anak mereka pun tidak bisa sekolah, termasuk anak-anakku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Mi!” panggilku dengan lembut, seraya memegang tangannya. Sejenak aku merasakan betapa kasar tangan istriku, karena semua pekerjaan berat dia kerjakan sendiri. Berbeda pada waktu ketika kami baru menikah, kami masih sanggup mempekerjakan pembantu.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Ummi capek?” tanyaku penuh perhatian.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Nggak kok, Bi. Cuma kurang tidur aja, semalam Fikri nangis terus. Badannya panas.? Tapi, Alhamdulillah, sekarang Fikri sudah nggak apa-apa.” jawab istriku datar.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Bener, Ummi nggak apa-apa?” tanyaku dengan nada tidak percaya.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Duuh, Abi masak nggak percaya sih sama Ummi” ia meyakinkanku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“lya deh percaya,” sahutku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“<em>Masak</em> sih Abi nggak percaya sama<strong> </strong>Ummi. Ummi itu kan orangnya tegar, rajin, cantik, pinter, penyayang, pengertian, keibuan lagi.” godaku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Ah, Abi. Ummi jadi malu nih, dipuji gitu!” wajah istriku merah merona. Walaupun dalam<strong> </strong>kondisi yang sulit ini aku berusaha menghibur hati istriku. Karena semenjak situasi negeri ini berubah, istriku lebih banyak di rumah.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">ooOoo</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Fikri, ayo mulutnya dibuka! Ak … ak … emm!” bujuk Nikmah kepada Fikri seraya menyuapi.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Hayo … tinggal dua sendok lagi. Cepet dihabiskan, nanti keburu</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">dimakan mbak Nurul Iho.”</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Mbak, minta dong, Fik!” goda Nurul yang dari tadi sedang asik dengan buku Sirah Nabawinya.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Tuh… kan, mbak Nurul minta! Ayo, buka lagi mulutnya.” seru Nikmah,</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“ak … ak, iya pinter. Kalau makannya banyak nanti cepet besar, biar bisa nemenin</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Abi.”</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Terus terang aku merasa bangga dengan anak-anakku. Semua tumbuh dan berkembang dengan norrnal. Aku tidak mau membeda-bedakan kasih sayang di antara mereka. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk mereka. Aku tidak hanya ingin anak-anakku mulia di mata manusia, namun lebih dari itu aku ingin mereka mulia di sisi Allah. Aku ingin mereka menjadi pengemban dakwah. Aku ingin mereka menjadi pejuang-pejuang Islam. Karena dengan Islamlah mereka akan mulia.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Alhamdulillah, keinginan seperti ini bukan hanya keinginanku, ternyata istriku juga bercita-cita demikian. Memang aku dan istriku berasal dari latar belakang yang sama, yaitu sama-sama aktivis dakwah. Maka wajarlah kalau keinginanku dan keinginan istriku sama. Dan aku pikir memang harus seperti itulah cita-cita kaum muslimin.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Bi, … Abi kok bengong?” sapa istriku,</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">” Nih, Ummi bikinkan teh hangat. Di minum dulu Bi biar badan lebih enakan.”</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Entah, setiap aku melihat wajah istriku, aku semakin sayang. Bahkan, seakan-akan semua masalah jadi hilang. Terlebih lagi, kalau aku memandang wajahnya hatiku menjadi tentram.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Bi, Abi kok bengong lagi? Abi, mikirin apa? ” Tanya istriku dengan lembut.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Nggak kok, Mi.” jawabku datar.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Abi cuma mau ngomong sama Ummi, kalau sebenarnya Abi itu…….” sengaja aku tidak melanjutkan kata-kataku, supaya istriku penasaran.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Sebenarnya apa Bi? tanya istriku penasaran. Aku pun tetap diam.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Aah Abi…. Ummi jadi semakin penasaran nih,” kata istriku tidak sabar.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“lya deh, sebenarnya…. Abi itu…..” kembali aku tidak melanjutkan kata-kataku, supaya istriku bertambah penasaran.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Tuh kan, Abi mulai lagi.” gerutu istriku dengan manja.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“lya deh, ini beneran.” Kataku membujuk. Sambil memandangi wajahnya kupegang tangannya, aku pun melanjutkan kata-kataku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">” Mi…, sebenamya Abi itu sangat sayang sama Ummi. Abi cinta sama Ummi.”</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kulihat wajah istriku merah merona seraya menundukkan wajahnya karena malu dan mungkin bahagia. Aku pikir untuk menunjukkan kasih sayang kepada istriku tidak cukup dengan perbuatan, tapi harus dengan kata-kata pula. Entah kenapa, yang pasti menurutku hal ini sangat penting untuk dilakukan para suami kepada istri mereka.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">ooOo</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Nurul, Mas Daus sama Mbak Nikmah mana?” tanya istriku kepada Nurul. Memang seperti biasanya setelah sholat Isya’ berjamaah kami melanjutkan makan malam bersama. Disinilah, biasanya kami saling berbagi cerita, sekaligus aku jadikan untuk forum tausiyah bagi anak-anakku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Firdaus, bagaimana …. sudah sholat istikharah dan dipikir masak-masak rencanamu untuk mengkhitbah teman adikmu itu?” tanyaku membuka forum tausiyah.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Sudah Bi.” jawab Firdaus.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Daus sudah mantap dengan pilihan Daus. Lagi pula dia juga dakwahnya bagus.”</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Ya…, kalau memang itu pilihanmu dan kamu juga sudah mantap, Abi sama Ummi setuju saja.” Kataku kepada putraku yang sulung ini.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Abi sama Ummi cuma bisa mengingatkan saja kalau orang berumah tangga itu tidak sama dengan ketika kita berjalan di jalan aspal yang mulus. Pasti akan ada saja cobaan dan godaan.”</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Daus, orang menikah itu tidak cukup hanya berbekal kemampuan biologis dan harta, namun yang harus diperhatikan pula adalah kesiapan ilmu dan mental untuk menghadapi segala sesuatu.” timpal istriku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Dan itu tidak hanya dari satu pihak namun harus berasal dari kedua belah pihak, suami dan istri.”</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Apalagi, di jaman dan situasi seperti sekarang kita harus sabar dan tabah,” ujar istriku melanjutkan nasehatnya.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Daus, apa yang disampaikan oleh Ummi itu benar. Oleh karena itu ingat baik-baik pesan Ummi.” Ujarku menegaskan.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Kalau begitu, besok kamis, kita datang ke orang tuanya.”</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Kalau begitu, biar dik Nikmah saja besok yang ngasih tahu ke Aisyah kalau kita mau ke sana.” pinta Daus ke adiknya.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">ooOoo</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Mi, anak-anak sudah ngumpul di ruang tengah?” tanyaku pada istriku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Sudah Bi.”</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sesaat aku menjadi ragu. Karena aku tidak tega kalau anak-anakku sedih apalagi <em>shock</em>. Tapi Istriku meyakinkanku kalau mereka insya Allah siap menerima kenyataan ini. Dengan didampingi istriku aku pun keluar kamar untuk berbicara dengan arak-anakku, terutama Firdaus, Nikmah dan Nurul.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Kalian tahu kenapa Abi mengumpulkan kalian sekarang?” tanyaku kepada anak-anak.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Tidak Bi.” Jawab mereka hampir bersamaan.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Sebetulnya ada berita yang ingin Abi sampaikan kepada kalian.” tegasku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Kita semua tahu, kalau kita ini hidup untuk beribadah kepada Allah Swt.” ujarku berusaha menjelaskan kepada mereka.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Nurul sudah pemah dikasih tahu sama Ummi?” tanyaku kepada Nurul.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Sudah Bi.” Jawab Nurul sambil menganggukkan kepalanya.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Dan makna kebahagiaan bagi kita sebagai seorang muslim yang sebenamya bukanlah dengan mendapatkan harta yang banyak, bukan pula dengan mendapatkan wanita yang cantik atau pria yang tampan, bukan pula dengan mendapatkan jabatan dan kekuasaan, dan juga bukan mendapatkan popularitas,” aku melanjutkan penjelasan.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Kebahagiaan bagi kita yang sebenarnya adalah apabila kita dizinkan oleh Allah masuk ke surga-Nya”.ucapku sainbil memperhatikan wajah anak-anak.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Dan untuk bisa masuk ke dalam surga haruslah mendapat keridhoan dari Allah. Dan keridhoan Allah hanya bisa kita dapatkan kalau kita mau menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.”</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Dakwah adalah salah satu aktivitas yang diwajibkan oleh Allah kepada seluruh kaum muslimin. Tidak terkecuali Abi”. Begitulah aku berbicara panjang lebar berusaha untuk memberitahu hal yang sebenarnya. Sesekali aku melihat wajah Nurul yang tampak serius dan tegang. Mungkin karena dia belum begitu mengenal dunia dakwah yang sebenamya. Nurul menjadi agak tegang. Ini berbeda dengan kedua kakaknya yang sudah mengenal betul dunia ini..</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Abi yakin kalian sudah paham mengenai perkara ini. Dan itulah aktivitas Abi yang sebenarnya. Abi tahu benar risiko yang akan dihadapi, tapi tak sedikitpun Abi takut,” ujarku meyakinkan mereka.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Semakin lama aku menjelaskan seakan-akan mulut ini semakin berat untuk mengucapkan. Dan hatiku merasa tidak tega menyampaikan berita ini kepada anak-anak. Tapi bagaimana pun juga, mereka harus tahu.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Daus … Nikmah …. dan Nurul … dua hari yang lalu teman Abi ditangkap oleh aparat kepolisian ketika usai sholat shubuh di masjid Al-Hasanah. Bukan hanya dia, Ustad Is dan Abu Raihan juga ditangkap,” aku berusaha menjelaskan.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Mereka ditangkap karena aktivitas dakwah yang mereka lakukan.” Sambil menarik nafas dalam-dalam aku melanjutkan kembali penjelasanku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Sekarang ini, teman-teman Abi dan juga Abi sedang di mata-matai oleh Intelijen.”</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kulihat mata Nikmah mulai merah seakan-akan menahan air matanya. Tapi aku tetap melanjutkan kata-kataku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Oleh karena itu, untuk sementara Abi tidak bisa tinggal bersama kalian. Abi harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari intaian intelijen. Segala urusan dan keperluan sehari-hari kalian akan dibantu oleh paman Ali.”</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Aku melihat air mata Nikmah dan Nurul mulai membasahi pipinya. Kuhapus air mata mereka satu persatu seraya mendekap mereka. Kudekati Anakku Firdaus, kupeluk ia erat-erat.? Tak terasa air mataku pun berlinang.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Keesokan harinya setelah sholat shubuh berjamaah, aku masuk ke kamar menemui istriku yang sedang menyiapkan pakaian yang akan kubawa. Kulihat air matanya membasahi pipinya.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Mi.., Ummi jangan menangis. Ummi harus ikhlas mengahadapi semua ini.” Aku berusaha menegarkan hati istriku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Abi minta maaf kalau selama ini Abi mengecewakan Ummi. Abi minta maaf kalau Abi tidak bisa memberikan apa-apa untuk Ummi. Abi juga minta maaf kalau selmna ini Abi belum bisa membahagiakan Ummi dan anak-anak” ucapku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tak terasa dadaku basah oleh air mata istriku. Aku bisa merasakan betapa sedih hatinya.? Belum pemah aku melihat istriku menangis seperti ini.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Menangislah Mi……. menangislah! Keluarkan semua air mata Ummi, biar hati Ummi menjadi lega.”</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Setelah istriku selesai menangis, kudekap istriku seraya membisikkan, “Kalau Ummi masih ingin menangis, menangislah. Tapi Abi berpesan, setelah Abi pergi Ummi jangan pernah menangis. Ummi harus tegar menghadapi semua ini.” Kulepaskan dekapanku perlahan-lahan lalu kugandeng tangannya kuajak keluar dari kamar untuk berpamitan dengan anak-anakku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kulihat diruang tengah, anak-anak sudah menungguku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Nurul…., Nurul harus jadi anak yang baik ya. Bantu Ummi sama Mbak Nikmah. Jadilah Nurul seperti Fatimah binti Muhammad saw.,” ucapku lembut. Kucium pipi Nurul yang basah oleh air matanya. Kudekap erat tubuh mungil Nurul dan dia pun membalas pelukanku. Dalam hati aku bersyukur kepada Allah kalau aku sudah diberi istri yang shalehah dan anak-anak yang shaleh dan shalehah pula.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kulepaskan pelukanku perlahan-lahan dari tubuh Nurul. Aku berdiri mendekati Nikmah yang dari tadi menangis sambil memeluk Umminya. Kupandangi Istriku yang dari tadi berusaha menenangkan Nikmah.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Nikmah…, ayo lihat ke Abi” kata istriku dengan lembut sambil menghadapkan wajah Nikmah kepadaku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kulihat mata putriku yang pertama ini sembab dan berwama merah. Kudekap ia erat-erat sambil berkata,” jangan menangis. Setiap perjumpaan pasti akan ada perpisahan. Nikmah harus ikhlas menghadapi semuanya. Serahkan semua ini pada Allah”</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kulepaskan dekapan Nikmah perlahan-lahan, sambil kuseka air mata di pipinya. Perlahan-lahan kudekati anakku yang paling sulung. Berbeda dengan adik-adiknya, kulihat Firdaus lebih tegar menghadapi kenyataan ini. Kudekap juga anakku yang sulung ini.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Jangan kecewakan Abi. Kamu harus menjadi pembela Islam. Kamulah satu-satunya harapan Abi saat ini. Jaga adik-adikmu dan Ummi,” tegasku.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Kamu harus tegar dan sabar.” Kukecup keningnya sebagai tanda perpisahan.</span></div><div style="color: black; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sebelum pergi, kuhampiri Istriku. Kukecup keningnya dan berpesan, “Jaga baik-baik anak-anak kita. Jadikan mereka seperti para sahabat Rasulullah. Jadikan mereka sebagai pembela dan pejuang-pejuang Islam.”</span></div><div style="color: black;"> <span style="font-size: small;">Kubuka pintu rumah perlahan-lahan, sambil memandangi mereka kuucapkan salam. Semakin jauh langkahku meninggalkan mereka, semakin yakin pula kalau kami akan bertemu lagi. Wahai Istriku dan anak-anakku, kalaupun di dunia kita tidak bisa bertemu lagi, kutunggu kalian di surga.</span></div><div style="color: black;"><br />
</div><div style="color: black;"><span style="font-size: small;">(http://dhiyary.wordpress.com) </span></div>Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-78332503507992746342011-06-01T08:34:00.000-07:002011-06-01T08:34:16.654-07:00Bila Al Qur’an bisa bicara !<div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;">Waktu engkau masih kanak-kanak, kau laksana kawan sejatiku<br />
Dengan wudu’ aku kau sentuh dalam keadaan suci<br />
Aku kau pegang, kau junjung dan kau pelajari<br />
Aku engkau baca dengan suara lirih ataupun keras setiap hari<br />
Setelah usai engkaupun selalu menciumku mesra<span id="more-52"></span><br />
<br />
Sekarang engkau telah dewasa…<br />
Nampaknya kau sudah tak berminat lagi padaku…<br />
Apakah aku bacaan usang yang tinggal sejarah…<br />
Menurutmu barangkali aku bacaan yang tidak menambah pengetahuanmu</div><div> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;">Atau menurutmu aku hanya untuk anak kecil yang belajar mengaji saja?</div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"> </div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; line-height: 100%; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left; word-spacing: 0pt;">Sekarang aku engkau simpan rapi sekali hingga kadang engkau lupa dimana menyimpannya </div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; line-height: 100%; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left; word-spacing: 0pt;"> Aku sudah engkau anggap hanya sebagai perhiasan rumahmu<br />
Kadangkala aku dijadikan mas kawin agar engkau dianggap bertaqwa </div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"> Atau aku kau buat penangkal untuk menakuti hantu dan syetan </div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"> Kini aku lebih banyak tersingkir, dibiarkan dalam kesendirian dalam kesepian </div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"> Di atas lemari, di dalam laci, aku engkau pendamkan.</div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><br />
Dulu…pagi-pagi…surah-surah yang ada padaku engkau baca beberapa halaman<br />
Sore harinya aku kau baca beramai-ramai bersama temanmu di surau…..</div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><br />
Sekarang… pagi-pagi sambil minum kopi…engkau baca Koran pagi atau nonton berita TV<br />
Waktu senggang..engkau sempatkan membaca buku karangan manusia </div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"> Sedangkan aku yang berisi ayat-ayat yang datang dari Allah Yang Maha Perkasa.<br />
Engkau campakkan, engkau abaikan dan engkau lupakan…</div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><br />
Waktu berangkat kerjapun kadang engkau lupa baca pembuka surahku (Basmalah)<br />
Diperjalanan engkau lebih asyik menikmati musik duniawi<br />
Tidak ada kaset yang berisi ayat Alloh yang terdapat padaku di laci mobilmu<br />
Sepanjang perjalanan radiomu selalu tertuju ke stasiun radio favoritmu<br />
Aku tahu kalau itu bukan Stasiun Radio yang senantiasa melantunkan ayatku</div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><br />
Di meja kerjamu tidak ada aku untuk kau baca sebelum kau mulai kerja<br />
Di Komputermu pun kau putar musik favoritmu<br />
Jarang sekali engkau putar ayat-ayatku melantun<br />
E-mail temanmu yang ada ayat-ayatkupun kadang kau abaikan<br />
Engkau terlalu sibuk dengan urusan duniamu</div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><br />
Benarlah dugaanku bahwa engkau kini sudah benar-benar melupakanku<br />
Bila malam tiba engkau tahan nongkrong berjam-jam di depan TV<br />
Menonton pertandingan Liga Italia , musik atau Film dan Sinetron laga<br />
Di depan komputer berjam-jam engkau betah duduk<br />
Hanya sekedar membaca berita murahan dan gambar sampah</div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><br />
Waktupun cepat berlalu…aku menjadi semakin kusam dalam lemari<br />
Mengumpul debu dilapisi abu dan mungkin dimakan kutu<br />
Seingatku hanya awal Ramadhan engkau membacaku kembali<br />
Itupun hanya beberapa lembar dariku<br />
Dengan suara dan lafadz yang tidak semerdu dulu<br />
Engkaupun kini terbata-bata dan kurang lancar lagi setiap membacaku.</div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><br />
Apakah Koran, TV, radio , komputer, dapat memberimu pertolongan ? Bila<br />
engkau di kubur sendirian menunggu sampai kiamat tiba Engkau akan<br />
diperiksa oleh para malaikat suruhanNya </div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"> Hanya dengan ayat-ayat Allah yang ada padaku engkau dapat selamat melaluinya.</div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><br />
Sekarang engkau begitu enteng membuang waktumu…<br />
Setiap saat berlalu…kuranglah jatah umurmu…<br />
Dan akhirnya kubur sentiasa menunggu kedatanganmu..<br />
Engkau bisa kembali kepada Tuhanmu sewaktu-waktu<br />
Apabila malaikat maut mengetuk pintu rumahmu.</div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><br />
Bila aku engkau baca selalu dan engkau hayati…<br />
Di kuburmu nanti….<br />
Aku akan datang sebagai pemuda gagah nan tampan<br />
Yang akan membantu engkau membela diri<br />
Bukan koran yang engkau baca yang akan membantumu Dari perjalanan di alam akhirat<br />
Tapi Akulah “Qur’an” kitab sucimu<br />
Yang senantiasa setia menemani dan melindungimu</div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><br />
Peganglah aku lagi . .. bacalah kembali aku setiap hari<br />
Karena ayat-ayat yang ada padaku adalah ayat suci<br />
Yang berasal dari Alloh, Tuhan Yang Maha Mengetahui </div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"> Yang disampaikan oleh Jibril kepada Muhammad Rasulullah.</div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><br />
Keluarkanlah segera aku dari lemari atau lacimu…<br />
Jangan lupa bawa kaset yang ada ayatku dalam laci mobilmu<br />
Letakkan aku selalu di depan meja kerjamu<br />
Agar engkau senantiasa mengingat Tuhanmu</div><div style="text-align: left;"> </div><div style="color: black; text-align: left;"><br />
Sentuhilah aku kembali…<br />
Baca dan pelajari lagi aku….<br />
Setiap datangnya pagi dan sore hari<br />
Seperti dulu….dulu sekali…<br />
Waktu engkau masih kecil , lugu dan polos…<br />
Di surau kecil kampungmu yang damai<br />
Jangan aku engkau biarkan sendiri….<br />
Dalam bisu dan sepi….<br />
Mahabenar Allah, yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. </div><div style="color: black; text-align: left;"><br />
</div><div style="color: black; text-align: left;">(http://dhiyary.wordpress.com) </div>Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-62438072377397979532011-06-01T08:30:00.001-07:002011-06-01T08:30:47.981-07:00cerpen remaja islam<span style="font-size: small;">Sayup-sayup terdengar alunan syahdu bacaan ayat-ayat suci Al Quran dendangan ibu. Dengan mata yang baru terbuka separuh, aku menoleh ke arah jam di dinding. Dalam samar-samar cahaya lampu tidur aku mengagak… baru pukul empat lebih. Apahal pula ibu bangun membaca surat-surat Allah di kala orang lain dibuai mimpi? Belum pernah aku mendengar ibu membaca Al Quran walaupun pada siang hari. Apatah lagi pada pagi-pagi buta begini. Aku juga tidak pasti sama ada ibu mampu bertilawah dengan baik atau tidak. Aku bingkas bangun lalu membetulkan urat-urat badan.</span><span style="font-size: small;">Sebaik-baik sahaja pintu bilik dibuka, aku ternampak Najib, adik bongsuku sedang mengulangkaji pelajaran agaknya di meja tulis comel diterangi lampu kecil. Rasa hairan bermain dalam dada… tak pernah si Najib ni “study” sebelum subuh. Selalunya dia berjaga sampai pukul dua baru masuk tidur. Apakah dia mendapat petua baru? Atau… adakah Ustaz Azman berpesan apa-apa?</span><br />
<span style="font-size: small;">Teringat aku sewaktu di tingkatan tiga dulu. Dalam satu perkhemahan pengakap, Ustaz Azman dijemput memberikan tazkirah selepas solat fardhu Maghrib berjemaah. Ada dia menyentuh tentang “study”. Dari situlah aku baru mengetahui masa terbaik untuk “study”, yang akan memudahkan hafalan, menyihatkan tubuh badan, mendatangkan hidayah dan barakah, mengilhamkan pemahaman serta lebih mendekatkan diri kepada Allah- pada dua pertiga malam iaitu antara pukul dua pagi hinggalah ke waktu subuh. Boleh jadi… Najib pun dah tahu.</span><br />
<span style="font-size: small;">Aku mengintai ke bilik ibu yang sememangnya tidak berpintu, hanya dihijab sehelai kain pintu berwarna hijau berbunga biru muda dan merah jambu. Ibu masih melagukan ayat-ayat Allah dengan nada suara sederhana. Ibu bertelekung! Sudah tentu ibu bangun solat malam. Peliknya! Sebelum ini ibu hanya solat Maghrib dan Isya’ saja, waktu-waktu lain tak berapa ambil berat.</span><br />
<span style="font-size: small;">Lebih pelik lagi… kulihat ayah dengan berketayap putih duduk bersila di tepi katil. Keadaannya seolah-olah orang sedang bertafakur. Mulutnya kumat-kamit. Kupasang telinga baik-baik, apalah agaknya yang ayah baca tu. Sesekali agak keras suaranya.</span><br />
<span style="font-size: small;">Subhanallah… ayah sedang mengkhatamkan zikir persediaan Naqsyabandiah. Selama inipun memang aku ada mengamalkannya sendiri-sendiri. Zikir itu kuperolehi sewaktu mempelajari ilmu perubatan Islam daripada Darus Syifa’ kelolaan Dr. Haron Din di universiti dulu. Daripada mana pula ayah memperolehinya? Setahu aku… ayah jarang-jarang solat. Berjemaah ke surau teramatlah jauhnya kecuali sewaktu Kak Ngah nak kahwin-sebab takut orang kampung tak datang gotong-royong masak. Lepas tu haram tak jejak kaki ke surau.</span><br />
<span style="font-size: small;">Aku beredar ke ruang tamu. Keriut bunyi lantai papan yang kupijak telah menyedarkan Shahrul, seorang lagi adik lelakiku. Lampu ruang tamu tak bertutup rupanya.</span><br />
<span style="font-size: small;">“Dah pukul berapa kak?”</span><br />
<span style="font-size: small;">“Emmm… dah empat lebih,”sahutku sambil melabuhkan punggung di atas kusyen.</span><br />
<span style="font-size: small;">Shahrul bangun dan terus ke bilik air. Tak lama kemudian dia masuk ke biliknya. Aku pasti dia sembahyang.</span><br />
<span style="font-size: small;">Apa dah jadi dengan rumah ni? Naik bingung seketika…</span><br />
<span style="font-size: small;">Aku rasa Shahrul terlena sewaktu membaca kerana ada sebuah buku di kusyen panjang tempat tidurnya tadi. Masih cantik sifat-sifat buku itu, mungkin baru dibeli. Kucuba membaca tajuknya… Perjuangan Wali Songo di Indonesia. Masyaallah, Shahrul boleh tertidur membaca buku tersebut? Aku yakin si Shahrul ni tak pernah baca buku-buku agama pun. Yang diminatinya tak lain itulah… majalah sukan, komik dan hiburan. Seribu satu macam pertanyaan berlegar dalam kepalaku.</span><br />
<span style="font-size: small;">Memang pernah ayah dan adik-adik bangun atau berjaga malam… untuk menonton perlawanan bola sepak. Tetapi kali ini mereka bangun untuk beribadah!</span><br />
<span style="font-size: small;">Sudah lebih lima tahun aku berusaha untuk menghidupkan roh Islam di rumah ini namun kejayaannya cuma secubit. Keluargaku tidak menunjukkan minat untuk membudayakan Islam dalam rumah kami. Kalau ayah dan ibu sendiri menentang, bagaimana dengan adik-adik? Kak Long Tikah dan Kak Ngah Ilah masing-masing telah berumahtangga, jadi… tak kisahlah. Namun ada keganjilan yang sukar kutafsir tika ini sedang berlaku di dalam rumah.</span><br />
<span style="font-size: small;">Selepas solat tahajjud aku terus berbaring. Lesu akibat perjalanan jauh masih terasa. Maklumlah, baru tengah malam semalam tiba dari Kota Jakarta, tempat kubekerja sebaik-baik sahaja lulus dari universiti.</span><br />
<span style="font-size: small;">Aku terjaga sekali lagi apabila deruman enjin motosikal menerjah gegendang telingaku. Kalau tak silap itu bunyi motosikal ayah. Motosikal mula bergerak lalu menuju ke jalan besar. Menurut di belakang adalah bunyi kayuhan basikal. Makin lama makin jauh.</span><br />
<span style="font-size: small;">“Ada… ooo Ada,” laung ibu sambil mengetuk pintu bilik.</span><br />
<span style="font-size: small;">“Ya mak,” sahut ku lemah.</span><br />
<span style="font-size: small;">“Bangun solat Subuh ye nak.”</span><br />
<span style="font-size: small;">“Ha’ah,” aku patuh.</span><br />
<span style="font-size: small;">“Mak… ayah pergi mana?” soalku ingin tahu.</span><br />
<span style="font-size: small;">“Ke surau dengan adik-adik… berjemaah.”</span><br />
<span style="font-size: small;">Alangkah indahnya suasana fajar kali ini. Inilah suasana waktu fajar yang telah lama kuimpikan. Selama beberapa tahun aku merindukan suasana ini… rindu pada kedamaian, rindu pada ketenangan, rindukan kesejahteraan dan juga kebahagiaan hidup berbudayakan roh Islam. Dulu, subuh-subuh begini hanya ada aku seorang… bersama Kekasih, kini sudah ramai… juga bersama Kekasih. Terasa rumahku yang selama ini suram mula bercahaya… telah ada jiwa…</span><br />
<span style="font-size: small;">@@@</span><br />
<span style="font-size: small;">Aku menolong ibu menyediakan sarapan di dapur. Rezeki kami pada hari itu adalah cempedak goreng. Ayah masih di bilik. Menurut ibu, ayah akan terus berzikir sehingga terbit matahari pada hari-hari cuti. Tidak ada seorangpun ahli keluarga yang berbaring atau tidur. Semua ada aktiviti masing-masing selepas solat Subuh. Bukankah tidur selepas Subuh itu membawa kemiskinan, penyakit, malas dan lain-lain kesan negatif?</span><br />
<span style="font-size: small;">Shahrul dan Najib berada di bahagian belakang rumah yang sememangnya agak luas. Pada mulanya aku berasa janggal melihat mereka bersiap-siap. Apabila kutanya jawab mereka “nak riadah, ayah suruh”. Bukankah sebelum ini mereka kaki tidur nombor satu? Kalau hari cuti, dah tentu pukul sepuluh ke atas baru bangun. Lepas bangun menonton televisyen. Tengah hari baru mandi. Sekarang sudah berbeza benar.</span><br />
<span style="font-size: small;">Sesekali aku menjenguk mereka melalui tingkap dapur. Kalau tadinya mereka terkejar-kejar berlari anak keliling rumah, kini mereka berkuntau pula. Memang budak-budak berdua ni aktif dalam persatuan silat di sekolah, tapi tak pernah pula mereka berlatih pada waktu pagi. Bergomol dan berkunci-kuncian sampai basah kena air embun di rumput. Ini rupanya riadah mereka. Eloklah… memang digalakkan Islam.</span><br />
<span style="font-size: small;">Pagi itu kami menghadap sarapan secara berjemaah, semua ada. Ayah sendiri yang membaca doa beserta maksudnya sekali. Amboi, hebat juga ayah kami ni! Aku mengingatkan adik-adik supaya selalu menyebut nama Allah di dalam hati sepanjang masa makan. Mak dan ayah mengiyakan kata-kataku itu. Seronok rasanya mendapat sokongan mak dan ayah. Sebelum ini kalau aku menegur adik-adik tentang agama, cepat benar muka mereka berubah. Namun Allah Yang Maha Merancang bisa mengubah segalanya. Syukur.</span><br />
<span style="font-size: small;">Ayah ke pasar bersama Shahrul sementara Najib pergi ke rumah kawannya Hafiz untuk meminjamkan kaset kumpulan nasyid Raihan dan Diwani. Peluang ini kuambil untuk mengorek cerita daripada ibu.</span><br />
<span style="font-size: small;">“Mak, Ada rasa seronok balik kali ini.”</span><br />
<span style="font-size: small;">“Iyelah, dah dekat setahun Ada tak balik… tentulah seronok,” balas ibu sambil tersenyum.</span><br />
<span style="font-size: small;">“Ada rasa kan mak, rumah kita ni dah ada roh… tak macam dulu…”</span><br />
<span style="font-size: small;">Ibu tidak terus menjawab apa-apa. Dia menarik nafas panjang. Kepalanya didongakkan ke dinding, menatap sebuah lukisan pemandangan yang cantik hadiah daripada menantunya Zamri, suami Kak Long. Lukisan itu adalah hasil tangan Abang Zamri sendiri</span><br />
<span style="font-size: small;">“Ini semua kerja Allah Ada. Mak sedar Ada sentiasa cuba merubah cara hidup keluarga kita… supaya kita berpegang dengan budaya Islam. Kami pandang remeh aje segala saranan dan teguran Ada.”</span><br />
<span style="font-size: small;">Ibu mengalihkan pandangannya ke arahku. “Itulah… kalau Allah nak ubah, siapapun tak sangka.”</span><br />
<span style="font-size: small;">“Apa dah jadi Mak?” soalku lebih serius.</span><br />
<span style="font-size: small;">“Abang Zamri Ada tu le… bukan sebarangan orang. Dalam diam-diam dia mendakwahkan budaya hidup Islam kat kita. Memanglah mulanya tu kami buat tak tahu… dia berjemaah ke surau ke, dia baca Quran ke, berzikir ke, cara dia berpakaian ke, apa ke di rumah kita ni.”</span><br />
<span style="font-size: small;">Memang kuakui Abang Zamri lain daripada yang lain. Sejak mula berkahwin dengan Kak Long lagi jelas perawakannya yang mulia. Gerak lakunya sopan. Tidak pernah meninggi diri.Tidak bergurau berlebih-lebihan. Hormat kepada orang tua. Mengasihi adik-adik. Kalau berbicara dengannya, dia tidak pernah lari daripada berbicara tentang Islam. Dia seolah-olah tidak terpengaruh dengan keseronokan dunia. Tidak ada perkara lain yang dicintainya selain daripada berjuang untuk Islam.</span><br />
<span style="font-size: small;">Abang Zamri jarang sangat pernah bercerita tentang kereta mewah, rumah besar, duit banyak, pangkat tinggi, perempuan cantik, muzik, filem, bolasepak, para artis, pakaian cantik dan lain-lain sedangkan semua itu diperkatakan sehari-hari dalam keluarga kami. Sememangnya dia ada kelebihan yang dikurniakan Allah SWT. Entahlah apa yang telah dibuatnya hingga keluarga kami berubah. Ingin kutanya pada ibu tapi… tunggulah nanti, apabila ada masa yang sesuai, insyaallah.</span><br />
<span style="font-size: small;">@@@</span><br />
<span style="font-size: small;">“Mak, Ayah, Shahrul dan Najib pergi ke rumah mak mertua Kak Long Ada… rumah keluarga Abang Zamri…”</span><br />
<span style="font-size: small;">“Mak ke Terengganu?” soalku.</span><br />
<span style="font-size: small;">“Iye, cuti penggal sekolah hari tukan Ada tak balik… kami pergi le ziarah besan kami.”</span><br />
<span style="font-size: small;">“Habis tu… apa yang jadi?”</span><br />
<span style="font-size: small;">Ibu terus bercerita dengan anjang lebar sambil kami melipat kain baju. Menurut ibu, keluarga Abang Zamri bukanlah orang senang. Adik-beradiknya seramai sembilan orang. Namun corak kehidupan mereka sungguh aman bahagia dan tenang Banyak perkara baru yang ibu dan ayah pelajari selama lima hari berada di sana.</span><br />
<span style="font-size: small;">Waktu tiba di kampung halaman Abang Zamri, keluarga kami disambut meriah dan penuh hormat. Gembira sungguh mereka menerima tetamu. Masing-masing dengan wajah ceria dan menampakkan ketenangan. Adik-adik Abang Zamri semua mencium tangan ibu dan ayah sementara Shahrul dan Najib dipeluk seolah-olah kawan lama. Ayah dan ibu agak terkejut dengan situasi tersebut kerana sebelum ini anak-anak sendiri pun susah nak cium tangan.</span><br />
<span style="font-size: small;">Rumah mereka bersih walaupun tidak mewah. Begitu juga dengan halamannya yang terjaga. Irama nasyid, bacaan al Quran, zikir munajat dan ceramah agama silih berganti kedengaran daripada radio kaset mereka. kalau di rumah kami tu, dari padi sampai ke malam dipenuhi dengan lagu-lagu artis tempatan dan luar negara.</span><br />
<span style="font-size: small;">Waktu Subuh sangat indah di sana. Sejak jam empat pagi lagi rumah itu telah dipenuhi dengan ibadah-ibadah sunat. Ada yang bertilawah, ada yang berzikir, ada yang solat dan sebagainya. Kemudian, yang lelakinya beramai-ramai solat fardhu Subh berjemaah ke masjid. Oleh kerana malu-malu alah, Ayah pun terpaksalah bangun dan pergi ke masjid sekali.</span><br />
<span style="font-size: small;">Dari awal pagi lagi keluarga Abang Zamri yang lelakinya turun ke pantai yang nampak dari rumah mereka. Mereka duduk mengelilingi Pak Luqman, bapa kepada Abang Zamri untuk mendengar tazkirah pendek. Kemudian adik-adik Abang Zamri yang kecil berlari-lari anak dalam satu barisan sepanjang pantai. Abang Zamri dan bapanya pula membasahkan tubuh dengan air embun yang diambil daripada pokok-pokok kayu. Tujuannya untuk menjaga kekuatan badan. Ayah hanya tersengih apabila dipelawa oleh Pakcik Luqman. Begitulah rutinnya setiap pagi selama ayah dan ibu berada di sana.</span><br />
<span style="font-size: small;">Waktu bersarapan tiba. Semua isi rumah ada, tidaklah seperti rumah kami- sarapan sendiri-sendiri. Mereka menghadap makanan dengan wajah yang manis, dimulakan dengan doa. Alangkah mesranya hubungan sesama mereka. Terasa suatu perasaan tenang yang sukar digambarkan. Sepanjnag masa makan, mereka banyak berbucara tentang kebesaran Allah dan nikmat-nikmat-Nya. Ayah dan ibu terpaksa bermuka-muka kerana tak tahu apa yang nak dicakapkan. Nak menyampuk… takut tak kena pula jalannya.</span><br />
<span style="font-size: small;">Selepas mengemaskan rumah secara bergotong-royong, adik-adik Abang Zamri berkumpul di serambi rumah. Mereka disertai oleh dua tiga orang anak-anak jiran. Rupanya mereka berlatih nasyid, siap dengan genderangnya sekali. Mereka mendendangkan lagu-lagu nasyid popular dan juga lagu ciptaan mereka sendiri. Sura mereka yang berharmoni indah bergema sampailah ke tengah hari. Kata emak Abang Zamri, kumpulan nasyid budah-budak itu sering menerima jemputan di sekitar daerah. Selama lima hari di sana, ibu sudah jatuh cinta dengan irama nasyid. Boleh dikatakan setiap album nasyid terbaru mesti dibelinya selepas itu. Dulu, ibu bukan main lagi… dengan karaoke dangdutnya yang terdengar sampai ke tengahjalan. Tentu ibu malu kalau terkenangkannya.</span><br />
<span style="font-size: small;">Kononnya hubungan Pakcik Luqman dengan isterinya sangat baik… macam baru berkahwin. Mereka selalu tersenyum dan bergurau, malah nampak malu-malu walaupun sudah tua. Kalau duduk tu… mesti nak rapat-rapat. Isterinya pun bukan main taat lagi kepada suami. Mungkin inilah yang membuatkan ibu dan ayah terasa sangat. Al maklumlah, mereka di rumah memang tak ampak mesra. Bergurau jarang, bertegang leher selalu. Benda kecil pun nak bertekak. Ayah balik dari luar pun tak pernah ibu sambut. Masing-masing dengan hal sendiri. Berbincang hal agama… jauh sekali.</span><br />
<span style="font-size: small;">Pelbagai pengalaman baru yang ibu dan ayah dapat di Terengganu. Agaknya mereka telah menemui formula keluarga bahagia… dan mahu mempraktikkannya dalam keluarga kami. Alangkah indahnya keluargaku kini…alangkah sayangnya Allah kepada keluargaku…aku bersyukur kepada-Mu ya Allah.</span><br />
<span style="font-size: small;">“Eh, Ada dengar ke apa yang Mak ceritakan ni?” soal ibu apabila melihat aku tersenyum mengelamun.</span><br />
<span style="font-size: small;">“Eh… mmm…dengar Mak”, jawabku serba salah.</span><br />
<span style="font-size: small;">“Mak sebenarnya berkenan pulak dengan sepupu Abang Zamri di terengganu yang ama Shahrul tu…”</span><br />
<span style="font-size: small;">“Alah mak ni… nak cerita pasal kahwin le tu”, cetusku lalu segera beredar ke dapur.</span><br />
<br />
<span style="font-size: small;">(http://inarysa89.wordpress.com) </span>Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-57667425484198547802011-06-01T08:26:00.001-07:002011-06-01T08:26:46.014-07:00Cerpen islami - Asma Nadia -Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.<br />
<br />
Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.<br />
<br />
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.<br />
<br />
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt.<span class="fullpost"> Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!<br />
<br />
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.<br />
<br />
Kamu pasti bercanda!<br />
<br />
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.<br />
<br />
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!<br />
<br />
Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.<br />
<br />
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!<br />
<br />
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.<br />
<br />
Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?<br />
<br />
Nania terkesima.<br />
<br />
Kenapa?<br />
<br />
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.<br />
<br />
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!<br />
<br />
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!<br />
<br />
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.<br />
<br />
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.<br />
<br />
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.<br />
<br />
Tapi kenapa?<br />
<br />
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.<br />
<br />
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.<br />
<br />
Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!<br />
<br />
Cukup!<br />
<br />
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?<br />
<br />
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.<br />
<br />
Mereka akhirnya menikah.<br />
<br />
***<br />
<br />
Setahun pernikahan.<br />
<br />
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.<br />
<br />
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.<br />
<br />
Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.<br />
<br />
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.<br />
<br />
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.<br />
<br />
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!<br />
<br />
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.<br />
<br />
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.<br />
<br />
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!<br />
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?<br />
<br />
Rafli juga pintar!<br />
Tidak sepintarmu, Nania.<br />
<br />
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.<br />
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.<br />
<br />
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.<br />
<br />
Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.<br />
<br />
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.<br />
<br />
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.<br />
<br />
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..<br />
<br />
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.<br />
<br />
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!<br />
<br />
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.<br />
<br />
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!<br />
<br />
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.<br />
<br />
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.<br />
Cantik ya? dan kaya!<br />
<br />
Tak imbang!<br />
<br />
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.<br />
<br />
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.<br />
<br />
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.<br />
<br />
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!<br />
<br />
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.<br />
<br />
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.<br />
<br />
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.<br />
<br />
Baru pembukaan satu.<br />
Belum ada perubahan, Bu.<br />
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.<br />
<br />
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.<br />
<br />
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.<br />
<br />
Masih pembukaan dua, Pak!<br />
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.<br />
<br />
Bang?<br />
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.<br />
<br />
Dokter?<br />
<br />
Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.<br />
<br />
Mungkin?<br />
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?<br />
Bagaimana jika terlambat?<br />
<br />
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.<br />
<br />
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.<br />
<br />
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.<br />
<br />
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.<br />
<br />
Pendarahan hebat!<br />
<br />
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.<br />
<br />
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.<br />
<br />
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.<br />
<br />
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.<br />
<br />
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.<br />
<br />
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.<br />
<br />
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.<br />
<br />
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..<br />
<br />
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.<br />
<br />
Nania, bangun, Cinta?<br />
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.<br />
<br />
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,<br />
<br />
Nania, bangun, Cinta?<br />
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.<br />
<br />
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.<br />
<br />
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.<br />
<br />
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.<br />
<br />
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.<br />
<br />
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.<br />
<br />
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.<br />
<br />
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?<br />
<br />
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.<br />
<br />
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.<br />
<br />
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.<br />
<br />
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.<br />
<br />
Baik banget suaminya!<br />
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!<br />
<br />
Nania beruntung!<br />
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.<br />
<br />
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!<br />
<br />
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.<br />
<br />
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?<br />
<br />
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?<br />
<br />
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.<br />
<br />
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi<br />
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.<br />
<br />
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.<br />
<br />
Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..<br />
<br />
- Asma Nadia -<br />
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.<br />
<br />
Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.<br />
<br />
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.<br />
<br />
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!<br />
<br />
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.<br />
<br />
Kamu pasti bercanda!<br />
<br />
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.<br />
<br />
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!<br />
<br />
Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.<br />
<br />
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!<br />
<br />
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.<br />
<br />
Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?<br />
<br />
Nania terkesima.<br />
<br />
Kenapa?<br />
<br />
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.<br />
<br />
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!<br />
<br />
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!<br />
<br />
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.<br />
<br />
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.<br />
<br />
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.<br />
<br />
Tapi kenapa?<br />
<br />
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.<br />
<br />
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.<br />
<br />
Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!<br />
<br />
Cukup!<br />
<br />
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?<br />
<br />
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.<br />
<br />
Mereka akhirnya menikah.<br />
<br />
***<br />
<br />
Setahun pernikahan.<br />
<br />
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.<br />
<br />
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.<br />
<br />
Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.<br />
<br />
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.<br />
<br />
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.<br />
<br />
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!<br />
<br />
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.<br />
<br />
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.<br />
<br />
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!<br />
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?<br />
<br />
Rafli juga pintar!<br />
Tidak sepintarmu, Nania.<br />
<br />
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.<br />
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.<br />
<br />
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.<br />
<br />
Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.<br />
<br />
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.<br />
<br />
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.<br />
<br />
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..<br />
<br />
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.<br />
<br />
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!<br />
<br />
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.<br />
<br />
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!<br />
<br />
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.<br />
<br />
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.<br />
Cantik ya? dan kaya!<br />
<br />
Tak imbang!<br />
<br />
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.<br />
<br />
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.<br />
<br />
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.<br />
<br />
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!<br />
<br />
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.<br />
<br />
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.<br />
<br />
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.<br />
<br />
Baru pembukaan satu.<br />
Belum ada perubahan, Bu.<br />
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.<br />
<br />
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.<br />
<br />
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.<br />
<br />
Masih pembukaan dua, Pak!<br />
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.<br />
<br />
Bang?<br />
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.<br />
<br />
Dokter?<br />
<br />
Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.<br />
<br />
Mungkin?<br />
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?<br />
Bagaimana jika terlambat?<br />
<br />
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.<br />
<br />
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.<br />
<br />
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.<br />
<br />
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.<br />
<br />
Pendarahan hebat!<br />
<br />
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.<br />
<br />
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.<br />
<br />
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.<br />
<br />
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.<br />
<br />
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.<br />
<br />
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.<br />
<br />
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.<br />
<br />
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..<br />
<br />
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.<br />
<br />
Nania, bangun, Cinta?<br />
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.<br />
<br />
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,<br />
<br />
Nania, bangun, Cinta?<br />
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.<br />
<br />
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.<br />
<br />
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.<br />
<br />
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.<br />
<br />
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.<br />
<br />
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.<br />
<br />
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.<br />
<br />
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?<br />
<br />
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.<br />
<br />
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.<br />
<br />
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.<br />
<br />
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.<br />
<br />
Baik banget suaminya!<br />
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!<br />
<br />
Nania beruntung!<br />
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.<br />
<br />
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!<br />
<br />
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.<br />
<br />
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?<br />
<br />
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?<br />
<br />
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.<br />
<br />
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi<br />
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.<br />
<br />
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.<br />
<br />
Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..<br />
<br />
- Asma Nadia -</span><br />
<span class="fullpost">(dunia-cerpen.blogspot.com) </span>Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-90177922631007342212011-06-01T08:17:00.001-07:002011-06-01T08:19:00.096-07:00Kisah Islami (Kasih Sepanjang Jalan)<div style="text-align: left;"><m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac></div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;">Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan. Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng <i>capucino</i> hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.<br />
</div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;">Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kak". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesal<span style="font-family: "Arial Unicode MS","sans-serif";">.</span></div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;"><br />
</div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;">Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah. Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu. </div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 11pt; line-height: 115%;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /> </span> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br />
</div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;">Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan. Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu. </div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;"><br />
</div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;">Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta <i>Narita Expres</i> yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku. Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama ini<span style="font-family: "Arial Unicode MS","sans-serif";"> </span>bisikku perlahan. </div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;"><br />
</div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;">Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua. Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah. </div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;"><br />
</div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;">Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga. Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu.... </div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;"><br />
</div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;">Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan. </div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;">Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan <i>boarding-pass</i> di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku.<i> </i>Syukurlah,<i> Window-seat, no smoking area</i>, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu. Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu. </div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;"><br />
</div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;">Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu... </div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: left;">Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: left;"><br />
</div>Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-42097424777534299102011-06-01T08:05:00.002-07:002011-06-01T08:05:25.618-07:00PELANTIKAN KETUA UMUMUkmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-55356415633978589222011-06-01T08:05:00.000-07:002011-06-01T08:05:03.622-07:00RAPAT PANITIARapat Paniatia akan di adakan hari ..................Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-78036860656220948202011-05-31T09:47:00.000-07:002011-05-31T09:47:25.838-07:00Para Nabi Adalah Mereka Yang Bersabar<!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:TrackMoves/> <w:TrackFormatting/> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:DoNotPromoteQF/> <w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther> <w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> <w:SplitPgBreakAndParaMark/> <w:DontVertAlignCellWithSp/> <w:DontBreakConstrainedForcedTables/> <w:DontVertAlignInTxbx/> <w:Word11KerningPairs/> <w:CachedColBalance/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> <m:mathPr> <m:mathFont m:val="Cambria Math"/> <m:brkBin m:val="before"/> <m:brkBinSub m:val="--> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><!--[endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267"> <w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/> <w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style> <![endif]--> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<em><span style="font-family: "Cambria","serif";">Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar</span></em><span style="font-family: "Cambria","serif";">. (<strong><span style="font-family: "Cambria","serif";">QS Al Anbiyaa’:85</span></strong>)</span><br />
<span style="font-family: "Cambria","serif";">Jelas sudah, kutipan-kutipan ayat diatas sudah menjelaskan kepada kita,<strong><span style="font-family: "Cambria","serif";"> bahwa sabar itu baik dan selalu baik</span></strong>. Ini merupakan bantahan bagi yang mengatakan tidak selalu baik atau ada batasnya. Saya penting mengatakan ini untuk mencegah kesalahan pengertian sehingga seolah ada ajaran Al Quran yang tidak membawa kebaikan. Saya hanya ingin menegaskan bahwa ajaran Al Quran itu benar dan selalu membawa kebaikan.</span><br />
<h1><span style="color: windowtext; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dimulai Dengan Pemahaman Yang Benar</span></h1><span style="font-family: "Cambria","serif";">Salah satu penyebab mengapa orang mengatakan sesuatu yang salah tentang sabar itu karena pemahaman yang salah. Pemahaman yang salah akibat kurang seriusnya dalam belajar. Tidak belajar pada sumbernya yang jelas dan valid, hanya mengikuti berbagai perkataan atau omongan sekilas yang bisa saja datang dari sekedar opini atau prasangka.</span><br />
<span style="font-family: "Cambria","serif";">Dikiranya hanya diam. Dikiranya menyerah. Dikiranya hanya menunggu tanpa upaya. Memang, dalam kondisi tertentu, bisa dalam artian diam. Namun bukan sembarang diam, sebab tidak selamanya diam itu adalah kesabaran. Orang yang diam demi mempertahankan kebenaran, itulah yang disebut dengan kesabaran. Diam membiarkan kemunkaran itu bukan kesabaran. Menunda-nunda pekerjaan, bukanlah yang disebut kesabaran.</span><br />
<span style="font-family: "Cambria","serif";">Bahkan saat seseorang marah, kemudian mengangkat pedang untuk menegakkan kebenaran, maka itu tidak akan menghilangkan sikap sabar pada diri orang tersebut. Siapa orang yang paling sabar? Tentu Rasulullah saw, tetapi beliau tetap berperang. Bahkan seringkali, dalam Al Quran, kata perjuangan, perang, dan jihad disandingkan dengan kata kesabaran.</span><br />
<span style="font-family: "Cambria","serif";">Mulailah memahami apa definisinya dari sumber yang jelas dan bisa dipertanggung jawabkan. Silakan Anda baca artikel lain yang menjelaskan tentang sabar dan definisinya, klik <a href="http://www.motivasi-islami.com/perjuangan-dan-kesabaran/" title="Perjuangan dan Kesabaran"><span style="color: windowtext;">Perjuangan dan Kesabaran</span></a>.</span><br />
<span style="font-family: "Cambria","serif";">Jadi tetaplah sabar.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Cambria","serif";">(http://www.motivasi-islami.com/) </span>Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-16889641164576811392011-05-31T09:45:00.001-07:002011-05-31T09:47:44.646-07:00Orang Yang Sabar Memiliki Kekuatan Lebih Besar<m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<i><span style="font-family: "Cambria","serif";">Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. </span></i><span style="font-family: "Cambria","serif";">(<b><span style="font-family: "Cambria","serif";">QS. Al Anfaal:65</span></b>)</span>Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-17197417252685418102011-05-31T09:43:00.001-07:002011-05-31T09:43:49.185-07:00Sabar Itu Selalu Baik<!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:TrackMoves/> <w:TrackFormatting/> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:DoNotPromoteQF/> <w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther> <w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> <w:SplitPgBreakAndParaMark/> <w:DontVertAlignCellWithSp/> <w:DontBreakConstrainedForcedTables/> <w:DontVertAlignInTxbx/> <w:Word11KerningPairs/> <w:CachedColBalance/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> <m:mathPr> <m:mathFont m:val="Cambria Math"/> <m:brkBin m:val="before"/> <m:brkBinSub m:val="--> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><!--[endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267"> <w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/> <w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style> <![endif]--> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<span style="font-family: "Cambria","serif";">Ada yang mengatakan bahwa <u>sabar</u> itu tidak selamanya baik. Mudah-mudahan yang dia maksud adalah “sabar” dalam definisi lain. Sabar yang tidak baik, bukanlah yang diambil dari kata <em><span style="font-family: "Cambria","serif";">shabar</span></em> dari Al Quran dan hadits. Sebab, jika yang dimaksud itu sama dengan shabar seperti yang diperintahkan Allah SWT dan Rasul-Nya, maka itu salah besar. <strong><span style="font-family: "Cambria","serif";">Jika sebuah sikap atau perilaku yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, maka itu pasti benar dan pasti baik</span></strong>.</span><br />
<h1><span style="color: windowtext; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Sabar Itu Perintah Allah</span></h1><span style="font-family: "Cambria","serif";">Silahkan buka Al Quran dan Hadits, banyak ayat dan hadits yang menyuruh kita untuk bersabar. Jadi tidak mungkin sabar itu tidak baik. Jadi, selalu baik dan ini ajaran dari Allah.</span><span id="more-3412"></span><br />
<h2><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12pt;">Allah Beserta Orang-orang Yang Sabar</span></h2><em><span style="font-family: "Cambria","serif";">Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar</span></em><span style="font-family: "Cambria","serif";">. (QS. Al Baqarah:153)</span><br />
<span style="font-family: "Cambria","serif";">Pastinya Allah senang bersama hamba-hamba-Nya yang melakukan kebenaran dan kebaikan. Jadi tidak mungkin jika “ada yang tidak baik”. Jika Anda mengatakan tidak selamanya baik, apakah jika Allah menyertai kita itu tidak baik?</span><br />
<span style="font-family: "Cambria","serif";">Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang mengatakan bahwa Allah suka dan memerintahkan kita untuk bersabar. Tentu saja tidak semuanya bisa ditampilkan disini karena saking banyaknya. Silahkan buka Al Quran dan Anda akan menemukannya dengan mudah. Bahkan, jika mau membuka kitab-kitab hadits, Anda akan menemukan lebih banyak lagi.</span><br />
<h2><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12pt;">Allah Memberikan Balasan Kepada Orang Yang Sabar</span></h2><em><span style="font-family: "Cambria","serif";">Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan</span></em><span style="font-family: "Cambria","serif";">. (<strong><span style="font-family: "Cambria","serif";">QS. An Nahl:96</span></strong>)</span>Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-65365127444573894882011-05-31T09:25:00.000-07:002011-06-02T01:01:43.761-07:00Galery Photo<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqM5p0k96us33DzysqmO4CX86bIKrCFuGBGawUMNwLHNQP5fFUIYLt26hCcLZe0lsXaSr_Locjj3AizjF7vC2Z3EMSm55_QxjBEMf4I9iumktMMRQqR3_yJ1e1ZA8I0zSAZZ4LXLkSHQ/s1600/227708_195916800453695_100001061300001_511611_7007372_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqM5p0k96us33DzysqmO4CX86bIKrCFuGBGawUMNwLHNQP5fFUIYLt26hCcLZe0lsXaSr_Locjj3AizjF7vC2Z3EMSm55_QxjBEMf4I9iumktMMRQqR3_yJ1e1ZA8I0zSAZZ4LXLkSHQ/s320/227708_195916800453695_100001061300001_511611_7007372_n.jpg" width="320" /> </a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAyNsgS74A4WQi0bsaTMzqrgEncAzI-bQuU-whtS_kquBIxs6Tiip-L1tgKKKWfZys8RtcgP71vSpLDnpOSDRLnzq-vcuz5Dx5G17gWH2xDySB5gnyP8pDCdP33Q7ngS0O8SylwdtMDw/s1600/01.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAyNsgS74A4WQi0bsaTMzqrgEncAzI-bQuU-whtS_kquBIxs6Tiip-L1tgKKKWfZys8RtcgP71vSpLDnpOSDRLnzq-vcuz5Dx5G17gWH2xDySB5gnyP8pDCdP33Q7ngS0O8SylwdtMDw/s320/01.jpg" width="320" /></a></div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhA8SwzScD_RTlVdEp41haeKvlTfIXQBMhuaVwqyCSDBWe6kCcYJahyphenhyphen0WEjkIMXjirtzrF1abk2Z9gitPtiOLlCZcCQKI-JAdGCLOHbNoF1CQLZk1uWa-6rVoY1BUF-mvkZL9wjUEF7DQ/s1600/02.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhA8SwzScD_RTlVdEp41haeKvlTfIXQBMhuaVwqyCSDBWe6kCcYJahyphenhyphen0WEjkIMXjirtzrF1abk2Z9gitPtiOLlCZcCQKI-JAdGCLOHbNoF1CQLZk1uWa-6rVoY1BUF-mvkZL9wjUEF7DQ/s320/02.jpg" width="320" /></a></div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgp-qtB933gR1V46XgO3eONBuD53VRfBH6QMFNV_MQ7HTuE94cYTGiuPOo8LNbf_gZcOGu3UyxVlDvSzuUuP66-fjxu_-Dk3LBquVVJQtSCcske6xm1zfsuVUYNbmiVYBO4b0t6CRpDOg/s1600/04.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgp-qtB933gR1V46XgO3eONBuD53VRfBH6QMFNV_MQ7HTuE94cYTGiuPOo8LNbf_gZcOGu3UyxVlDvSzuUuP66-fjxu_-Dk3LBquVVJQtSCcske6xm1zfsuVUYNbmiVYBO4b0t6CRpDOg/s320/04.jpg" width="320" /></a></div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwUqXt7uX0HHhRcTnfSBSTsIFCkPuqwVEFK9zTI_-voIMVUCd8y2HiAQMR_RDjHEmxwUY9iSorJ7aGxCkk838dkFW0_bHGhwSbGppPR7Yon-roHBeXN-WqQbU92Kw-hKyCWLL2jdl5fA/s1600/222573_195919390453436_100001061300001_511649_744131_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwUqXt7uX0HHhRcTnfSBSTsIFCkPuqwVEFK9zTI_-voIMVUCd8y2HiAQMR_RDjHEmxwUY9iSorJ7aGxCkk838dkFW0_bHGhwSbGppPR7Yon-roHBeXN-WqQbU92Kw-hKyCWLL2jdl5fA/s320/222573_195919390453436_100001061300001_511649_744131_n.jpg" width="320" /></a></div><div style="text-align: center;"><br />
</div>Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-69040816398241060522011-05-31T09:21:00.001-07:002011-06-02T01:11:51.967-07:00ContackBlog sebuah gaya hidup baru era digital yang sudah meluas di berbagai kalangan, dengan tujuan masing-masing orang membuat blog untuk kepentingan personal, komersial maupun organisasi. Untuk saling bertukar pikiran, opini maupun saran itulah salah satu tujuan orang membuat blog.<br />
kami sadar di dalam pembuatan blog ini masih banyak sekali kesalahan atau kekurangan, baik di dalam penulisan atau didalam penyusunan. untuk itu kami sangat mengharap kritik atau saran dari teman-teman semuanya.Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-52194542216107428432011-05-16T23:41:00.000-07:002011-05-16T23:41:02.212-07:00Misi<span dir="ltr">Membina, menanamkan nilai-nilai Islam, IPTEK, sosial untuk kesejahteraan pribadi, kampus dan bangsa serta Agama.</span><br />
<ul><li><span dir="ltr">Membentuk, mengarahkan nilai-nilai yang telah tertanam agar bisa menjadi rahmatanlil’alamin.</span></li>
<li><span dir="ltr">Mengembangkan, pengembangan/mentransformasikan nilai-nilai yang telah tertanam kepada lingkungan hidup.</span></li>
<li><span dir="ltr">Mempotensikan, menguatkan pridadi mandiri agar mampu bersaing dalam mengarung pergerakan globasi.</span></li>
</ul>Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-4715548334788576102011-05-16T23:40:00.001-07:002011-05-16T23:40:35.852-07:00VisiLembaga Dakwah Kampus “Darul Ilmi Universitas Karimun” tegak sebagai salah satu wadah untuk menciptakan, membentuk dan membudayakan Islam bagi warga kampus agar terwujud generasi yang rahmatanlil’alamin.Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-65433431511606302612011-05-16T23:19:00.001-07:002011-05-16T23:19:01.813-07:00Motivasi<div align="center"><strong><a href="http://www.motivasi-islami.com/anda-akan-sukses-meraih-cita-cita-asal/" title="Anda Akan Sukses Meraih Cita-cita, Asal…">Anda Akan Sukses Meraih Cita-cita, Asal…</a></strong></div><strong>Sukses meraih cita-cita</strong>, apalagi cita-cita besar adalah impian semua orang. Termasuk orang pesimis. Sebenarnya mereka memiliki cita-cita besar, namun karena sikapnya yang pesimis, mereka mengubur dalam-dalam cita-cita tersebut. Anda melupakan cita-cita Anda? Jika ya, silahkan baca artikel ini akan saya jelaskan bagaimana Anda bisa <em>sukses meraih cita-cita</em> Anda.<br />
Metode yang akan dijelaskan sudah terbukti. Jika Anda mengikutinya, insya Allah Anda akan sukses meraih cita-cita Anda. Sebesar apa pun cita-cita Anda. Tidak usah pesimis, tidak usah takut.<br />
<br />
Dua artikel sebelumnya sangat fundamental, Anda harus membacanya karena sangat berkaitan dengan artikel ini. Tentu saja artikel-artikel lainnya pun yang ditulis di Motivasi Islami sangat bermanfaat agar Anda sukses meraih cita-cita Anda.<br />
Dua artikel terakhir tersebut adalah:<br />
<ul type="disc"><li><a href="http://www.motivasi-islami.com/anda-akan-sukses-meraih-cita-cita-asal/Anda%20Akan%20Menemukan%20Jalan%20Sukses">Anda Akan Menemukan Jalan Sukses</a></li>
<li><a href="http://www.motivasi-islami.com/mimpi-masa-kini-adalah-kenyataan-hari-esok/">Mimpi Masa Kini Adalah Kenyataan Hari Esok</a></li>
</ul>Pada kali ini saya akan membahas 3 syarat yang harus Anda miliki agar Anda tetap berusaha, tetap bertindak, dan tetap berjuang untuk meraih cita-cita Anda. Karena inilah kunci Anda mencapai cita-cita, yaitu tidak berhenti. Ketiga syarat dibawah ini akan menjadikan diri Anda tidak bisa dihentikan oleh apa pun dan siapa pun kecuali oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala.<br />
<h3>Menjaga Keyakinan Bahwa Anda Akan Sukses Meraih Cita-cita</h3>Seperti disebutkan dalam ebook Beautiful Mind Power, ada 3 dimensi keyakinan yang harus Anda miliki dan jaga. Selama ketiga keyakinan ini Anda miliki, Anda tidak akan pernah berhenti, Anda akan tetap optimis, sehingga Anda akan tetap bergerak.<br />
Apa ketiga dimensi keyakinan itu?<br />
<ol start="1" type="1"><li>Yakin kepada diri sendiri, bahwa Allah sudah memberikan potensi yang cukup untuk meraih cita-cita Anda.</li>
<li>Yakin bahwa cita-cita Anda bisa Anda raih. Meski terlihat sulit dan berat, tetapi Anda harus yakin bahwa cita-cita itu mungkin digapai oleh Anda. Kriterianya mudah saja, jika ada orang lain yang sudah mencapainya (kecuali para Nabi), maka Anda akan bisa mencapainya.</li>
<li>Yakin bahwa Allah akan membantu dan menolong Anda.</li>
</ol><h3>Menjaga Fokus Anda Pada Cita-cita</h3>Saat Anda kehilangan fokus, sama saja Anda kehilangan energi. Bukan tidak ada energi, tetapi energi Anda akan menjadi buyar dan tidak cukup lagi untuk mencapai cita-cita Anda. Bagaimana pun hebatnya Anda, tetap saja manusia yang serba terbatas. Kita tidak bisa memiliki segalanya. Waktu dan sumber daya Anda terbatas. Untuk itulah Anda harus menjaga fokus Anda dalam meraih cita-cita.<br />
Anda harus memiliki sistem agar Anda tetap fokus pada cita-cita Anda. Bisa saja itu adalah seorang mentor yang membimbing serta mengarahkan Anda pada cita-cita Anda. Bisa jadi gambar atau benda yang mengingatkan Anda untuk fokus pada tujuan. Atau apa pun yang bisa Anda lakukan agar Anda tetap fokus.<br />
Tentu saja, yang dimaksud fokus disini bukan berarti harus melupakan hal lain. Ibadah-ibadah harian jelas tidak boleh dilupakan oleh fokus kita meraih cita-cita. Fokus disini artinya Anda harus memberikan waktu khusus untuk meraih cita-cita dan Anda konsentrasi saat bekerja.<br />
Misalnya, tetapkan berapa lama waktu yang Anda alokasikan untuk meraih cita-cita Anda. Kapan jadwalnya. Alokasi waktu tentu harus sesuai dengan besarnya cita-cita yang Anda miliki. Jika Anda memiliki cita-cita besar, tentu waktu yang diperlukan akan semakin banyak. Tetapi jangan khawatir, Anda bisa mencapai cita-cita yang besar dengan waktu yang lebih sedikit jika Anda menerapkan konsep <a href="http://www.zonasukses.com/paket3.php">Revolusi Waktu</a> dan <a href="http://www.zonasukses.com/dayaungkit.php">Daya Ungkit</a>.<br />
<h3>Jagalah Motivasi</h3>Motivasi adalah energi. Motivasi seperti bahan bakar pada kendaraan Anda. Jika tidak ada motivasi, maka Anda tidak akan bisa bergerak meraih cita-cita Anda.<br />
Bagaimana jika motivasi habis atau turun? Maka Anda harus mengisinya lagi. Jika motor Anda kehabisan bensin, maka Anda harus mengisinya kembali. Jika HP Anda kehabisan listriknya, maka Anda harus men-charge-nya lagi.<br />
Untungnya, motivasi tidak perlu bayar atau beli. Anda bisa membangkitkan motivasi Anda kapan pun Anda mau. Energi dalam diri Anda bisa bangkit kembali jika Anda mau membangkitkannya.<br />
Selama ada motivasi, Anda akan terus bergerak. Jika bergerak, dan arahnya tepat, cepat atau lambat Anda akan mencapai tujuan.<br />
Jadi Anda akan sukses meraih cita-cita jika Anda Anda menjaga keyakinan, menjaga fokus Anda, dan menjaga motivasi Anda.Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-51845112018132070722011-05-16T22:55:00.000-07:002011-05-16T22:55:12.022-07:00Profil<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9ve7aW9GkgFf6PH3krsiqTICCPsVYQ1euw5tFwQJTUWIl7kKG55EMGdGK97b9NDVatf5U7VWtXQP_uOAuu5S0_0CZqQFYgL7K7eHPyXUacP89wcg9y-YPBfmcGXFdCr8J-Ye4Y9-jfg/s1600/p5.jpg.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="206" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9ve7aW9GkgFf6PH3krsiqTICCPsVYQ1euw5tFwQJTUWIl7kKG55EMGdGK97b9NDVatf5U7VWtXQP_uOAuu5S0_0CZqQFYgL7K7eHPyXUacP89wcg9y-YPBfmcGXFdCr8J-Ye4Y9-jfg/s320/p5.jpg.jpg" width="320" /></a></div><div align="left">Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh</div><div align="justify"><br />
Dengan menendukan kepada dan merendah hati sambil mengucapkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT serta berkat dan rahmat, hidayah dan ridhonya jualah para mahasiswa muslim Universitas Karimun dapt mewujudkan sebuah keinginan dan harapan untuk berhimpun dalam suatu wadah kelembaga yang dikenal dengan LEMBAGA DAKWAH KAMPUS DARUL ‘ILMI. Serta tidak lupa agar senantiasa kita mencurahkan salawat dan salam untuk Nabi Revolusioner Muhammad Saw. Mudah-mudahan kita senantiasa mendapat safaat di yaumul akhir nanti. Aminn …<br />
Generasi pemuda muslim adalah komponen terbesar dalam komposisi Indonesia khususnya pada Unversitas Karimun, hal ini dikarenakan dalam usianya yang potensial dan produktif, kepotensialan dan produktifitas pemuda ini tentunya sarat dengan pemikiran dan muatan positif untuk mensejahterakan kehidupannya. Sebaliknya mereka juga tidak menutup kemungkinan memiliki muatan negative yang siap menghancurkan harkat dan martabat kehidupan. Untuk itu, para pemuda yang produktif dan berpotensial ini sangat penting untuk terus dibina dan dibimbing secara intensif agar terciptanya pemuda muslim yang syarat dengan muatan dan pemikiran positif serta siap untuk membuat perubahan yang dahsyat untuk kesejahteraan kehidupannya bukan masalah sebaliknya.<br />
Inilah salah satu penggerak mahasiswa muslim Universitas karimun untuk menegakkan dan menyatukan visi, misi, idiologi serta pergerakan dalam suatu wadah Lembaga Dakwah kampus “Darul ‘Ilmi” yang insyaallah akan membawa kepada perubahan yang dicita-citakan.<br />
Sebagai mahluk yang lemah, kebali kita bertawakkal kepada Allah SWT. Sesungguhnya kita hanya mampu untuk merencanakan sesuatu hal dan semua yang terjadi itu hanya dengan kehendaknya. Akhir kalam semoga yang di cita-citakan ini bisa teraplikasikan dan mampu berjalan dengan jeharmonisannya, Amin Ya Rabbal’alamin ..</div>Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-83255014537258178222011-05-16T22:51:00.001-07:002011-05-16T22:51:36.566-07:00Home<div align="left">Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh</div><div align="justify"><br />
Dengan menendukan kepada dan merendah hati sambil mengucapkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT serta berkat dan rahmat, hidayah dan ridhonya jualah para mahasiswa muslim Universitas Karimun dapt mewujudkan sebuah keinginan dan harapan untuk berhimpun dalam suatu wadah kelembaga yang dikenal dengan LEMBAGA DAKWAH KAMPUS DARUL ‘ILMI. Serta tidak lupa agar senantiasa kita mencurahkan salawat dan salam untuk Nabi Revolusioner Muhammad Saw. Mudah-mudahan kita senantiasa mendapat safaat di yaumul akhir nanti. Aminn …<br />
Generasi pemuda muslim adalah komponen terbesar dalam komposisi Indonesia khususnya pada Unversitas Karimun, hal ini dikarenakan dalam usianya yang potensial dan produktif, kepotensialan dan produktifitas pemuda ini tentunya sarat dengan pemikiran dan muatan positif untuk mensejahterakan kehidupannya. Sebaliknya mereka juga tidak menutup kemungkinan memiliki muatan negative yang siap menghancurkan harkat dan martabat kehidupan. Untuk itu, para pemuda yang produktif dan berpotensial ini sangat penting untuk terus dibina dan dibimbing secara intensif agar terciptanya pemuda muslim yang syarat dengan muatan dan pemikiran positif serta siap untuk membuat perubahan yang dahsyat untuk kesejahteraan kehidupannya bukan masalah sebaliknya.<br />
Inilah salah satu penggerak mahasiswa muslim Universitas karimun untuk menegakkan dan menyatukan visi, misi, idiologi serta pergerakan dalam suatu wadah Lembaga Dakwah kampus “Darul ‘Ilmi” yang insyaallah akan membawa kepada perubahan yang dicita-citakan.<br />
Sebagai mahluk yang lemah, kebali kita bertawakkal kepada Allah SWT. Sesungguhnya kita hanya mampu untuk merencanakan sesuatu hal dan semua yang terjadi itu hanya dengan kehendaknya. Akhir kalam semoga yang di cita-citakan ini bisa teraplikasikan dan mampu berjalan dengan jeharmonisannya, Amin Ya Rabbal’alamin ..</div>Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2502139688908250990.post-42429437941273728532011-05-15T01:50:00.000-07:002011-05-16T08:58:37.765-07:00Lembaga Dakwah Kampus (LDK)<m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div style="text-align: justify;">Lembaga Dakwah Kampus (LDK) adalah sebuah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_kemahasiswaan_intra_kampus" title="Organisasi kemahasiswaan intra kampus"><span style="color: black; text-decoration: none;">organisasi kemahasiswaan intra kampus</span></a> yang terdapat di tiap-tiap <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Perguruan_tinggi" title="Perguruan tinggi"><span style="color: black; text-decoration: none;">perguruan tinggi</span></a> di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia" title="Indonesia"><span style="color: black; text-decoration: none;">Indonesia</span></a>. Organisasi ini bergerak dengan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Islam" title="Islam"><span style="color: black; text-decoration: none;">Islam</span></a> sebagai asasnya. Sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia pasti mempunyai LDK. Tiap-tiap perguruan tinggi, nama LDK bisa berbeda-beda. Kadang mereka menyebut dirinya sebagai Sie Kerohanian Islam, Forum Studi Islam, Lembaga Dakwah Kampus, Badan Kerohanian Islam, dan sebagainya. Lembaga Dakwah Kampus adalah lembaga yang bergerak di bidang dakwah Islam, kampus merupakan inti kekuatannya, dan warga civitas akademika adalah obyek utamanya. Ditinjau dari struktur sosial kemasyarakatan, mahasiswa dan kampus merupakan satu kesatuan sistem sosial yang mempunyai peranan penting dalam perubahan sosial peri-kepemimpinan di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan dari potensi manusiawi, mahasiswa merupakan sekelompok manusia yang memiliki taraf berpikir di atas rata-rata. Dengan demikian, kedudukan mahasiswa adalah sangat strategis dalam mengambil peran yang menentukan keadaan masyarakat di masa depan. Perubahan masyarakat ke arah Islam terjadi apabila pemikiran Islam telah tertanam di masyarakat itu. Dengan berbagai potensi strategis kampus, maka tertanamnya pemikiran Islam di dalam kampus melalui dakwah Islam diharapkan dapat menyebar secara efektif ke tengah-tengah masyarakat.</div><div style="text-align: justify;">Kondisi obyektif dari masing-masing kampus yang berbeda-beda menjadikan masing-masing Lembaga Dakwah Kampus berkembang dengan pola sendiri-sendiri, sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Di samping itu, banyaknya persoalan dakwah di dalam kampus menyebabkan Lembaga Dakwah Kampus lebih mengarahkan perhatiannya ke dalam kampusnya masing-masing, dan kurang memberikan perhatian pada kebersamaan gerak dakwah. Keadaan ini berakibat melemahnya kekuatan gerak dakwah secara global. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu jalinan koordinasi yang baik di antara LDK yang ada demi terciptanya kekuatan gerak dakwah yang terpadu dan kokoh laksana satu bangunan yang saling menguatkan.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div>Ukmi Darul Ilmi Universitas karimunhttp://www.blogger.com/profile/00581990991408497623noreply@blogger.com0